“Eungg .... emhh..” gumamku saat sesuatu yang hangat terasa di kelopak mataku.Aku membuka mata perlahan, kulihat Bulan dan Bintang berdiri di samping kasur, dan pak Ahmad duduk di sebelahku, dia tengah mengompres mataku dengan air hangat.
“Eh .... neng Fexi, sudah bangun? Airnya terlalu panas terus buat neng bangun, ya?” tanya pak Ahmad.
“Enggak kok, pak,” bantahku. “itu .... kenapa mataku di kompres?”
Pak Ahmad menaruh kain yang digunakan untuk mengompres di ember kecil berisi air hangat.
“Tadi, neng Fexi di angkot mukanya pucat banget, terus gak lama tertidur, kata Bulan, kamu itu tidur tapi mengeluarkan air mata, sampai mata kamu bengkak dan merah, makanya bapak kompres mata eneng, biar bengkaknya mengecil,” jelas pak Ahmad.
Aku terdiam sebentar, mengingat kejadian sebelumnya yang mengenaskan, ini sudah kedua kalinya aku tertidur tetapi sambil menangis.
Pertama, saat aku mendengar kalau pesawat yang ayah bawa kecelakaan di laut, tapi, untungnya keesokan harinya pihak stasiun televisi mengatakan kalau berita itu hoax. Dan kedua, saat peristiwa ini terjadi.
“Maaf ya. Gara-gara aku, kalian gak jadi rekreasi ke Jakarta deh,” sesalku.
“Gapapa, asalkan kakak Fexi sehat, kita juga udah senang kok!” hibur Bulan.
“Oh iya kak. Rencananya, kita nanti akan ke pemakaman umum, kita mau ke tempat peristirahatan terakhir ibu, dan kita juga akan menengok almarhum temannya bapak. Kakak mau ikut, nggak?” ujar Bintang.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, masih malas rasanya jika berbicara panjang lebar.
“Bulan, Bintang. Kalian jaga makam almarhum ibu, dan teman bapak dengan benar, kan?” tanya pak Ahmad.
“Iya dong, pak. Setiap 2 Minggu sekali, kita kan membersihkan makamnya ibu dan makam teman bapak,” jawab Bulan, yang diiringi dengan anggukan Bintang.
“Eneng, benar-benar mau ikut? Matanya nggak sakit?” tanya pak Ahmad.
“Saya mau ikut, pak. Lagian, kan, gak enak juga kalo sendirian di rumah,”
“Kak Fexi takut, ya...? Kakak kalah, nih, sama Bintang. Bintang aja berani kalo ditinggal sendiri!” goda Bintang.
“Terserah kamu aja lah, Bintang,” Sahutku.
“Ya udah, kalian ganti baju saja sekarang. Bapak mau keluar kamar dulu ya," pamitnya.
“Bulan sama kak Bintang juga mau ganti baju nih. Oh iya, kak, nanti kakak pakai baju warna hitam aja ya, biar sama kayak kita!” pinta Bulan.
Ya iyalah, Bulan, Bintang. Kalau ke pemakaman tapi pakai baju warna cerah kan nggak sopan! Kataku dalam hati.
Bulan dan Bintang sudah pergi sekarang. Aku dan yang lainnya akan segera ke pemakaman nanti, tapi kenapa perasaan ku deg-degan, ya? Apa nantinya akan ada sesuatu mengejutkan terjadi? Atau, ini hanya suatu firasat yang salah?
KRIIET! Aku membuka pintu kamar dengan kencang, lupa kalau pintu itu akan mengeluarkan bunyi yang berisik jika di dorong atau di tarik dengan kencang, alhasil, saat aku keluar kamar, semua pasang mata segera menatapku.
“Hehehe .... maaf, ya. Aku lupa kalau pintu ini kalau ditarik kencang jadi berisik,” kataku.
“Syukurlah, eneng udah bisa tertawa lagi, tetap begitu ya, neng!” ucap pak Ahmad.
Aku tertegun sesaat, melihat perhatian mereka yang begitu besar padaku, padahal, aku bukan salah satu dari bagian keluarga mereka.
"Iya, aku janji akan lebih sering tertawa lagi, karena, kalau aku tertawa kan jadi jauh lebih cantik,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu hari nanti (KKPK)
Short StoryFelix & Fexi adalah saudara kembar. Namun, Fexi merasa bahwa dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan Felix. Hingga akhirnya dia tak tahan lagi menghadapinya, lalu memutuskan untuk kabur dari rumah. Apakah semua akan berjalan dengan baik? ternyata...