Berjuanglah, Demi Bulan!

796 40 5
                                    

Hari ini, semua kembali pada aktivitasnya masing-masing. 3 hari mungkin sudah merupakan waktu yang lama untuk bersedih-sedih. Aku mencoba kuat. Kuat, kuat, dan kuat. Inilah prinsip hidupku sekarang.

“Neng, bapak sama Bintang berangkat dulu, ya. Assalamualaikum...” salam pak Ahmad dan Bintang, lalu lekas segera keluar rumah dan menaiki angkot yang bisa dibilang sudah butut.

“Waalaykumsalam...” jawabku dan Bulan.

“Ahh .... kenapa Bulan gak di izinin ikut, sih? Padahal, Bulan kan juga mau lihat Jakarta lagi!” gerutu Bulan.

Pak Ahmad dan Bintang memang sedang pergi ke Jakarta sekarang. Karena, masa cuti pak Ahmad sudah selesai, kalau Bintang, sedang study tour dengan sekolahnya. jadilah, hanya kami berdua yang ada disini, ternyata, tanpa mereka rumah ini sepi juga, ya.

Aku membelai kepala Bulan. “Kalau Bulan ikut, terus, nanti kakak sama siapa, dong?”

“Tapi, kan...”

“Kita nyupir aja, yuk!” ajak ku memotong omongan Bulan.

Nyupir? Kan kita gak punya kendaraan lagi, kak. Lagian, emang kakak bisa nyetir mobil atau motor?” sahutnya.

“Bukan itu maksud kakak. Nyupir itu singkatan dari nyuci piring,” ujarku. “Liat, tuh. Piring kotor numpuk semua di wastafel,”

“Ohh .... gitu. Ya udah kak, ayo!” Bulan berlari lincah ..... eh, ralat! Gerakan Bulan tidak selincah biasanya ..... dia, kenapa?

"Kak ....?" Lirih Bulan. "Kak, kok rumahnya goyang-goyang, sih? Ini gak lagi gempa kan ....? Kak .....Bulan pu .....".

“Bulan .... !! Lho, kamu kok tiba-tiba pingsan?!” tanyaku panik. “Bulan. Sadar, Bulan, Bulan!” teriakku.

10 menit Bulan pingsan. Masih tak ada perubahan apa-apa. Aku masih tetap berseru memanggil nama Bulan, sembari memikirkan bagaimana caranya mendapat pertolongan untuk Bulan.

Aku tak bisa berpangku tangan begini! Lebih baik, aku minta cari pertolongan dari tetangga sebelah. Batinku.

Aku segera keluar rumah. Mencari pertolongan untuk Bulan. Namun, baru beberapa menit aku berlari tiba-tiba ..... BRUUK! Badanku terbentur dengan badan seseorang.

“Aduh .... maaf, ya,” aku meringis.

“Iya .... gapapa, aku juga salah, kok,” Sahutnya.

Aku memperhatikan orang itu. Perempuan berambut ikal sebahu itu bajunya tampak kumel dan kotor, dia juga memegang sebuah gitar kecil mirip ukulele. Dari tampangnya seperti orang baik.

“Eum .... kamu ngapain lari terbirit-birit begitu?” tanya orang itu.

“Adikku .... ah tidak, maksudku, temanku jatuh pingsan! Aku harus mencari pertolongan untuknya,” Jawabku.

What?! Kenapa gak bilang dari tadi? Ayo kita bawa dia ke rumah sakit!” serunya.

“Tapi, kita harus ke rumahnya dulu,” ucapku.

“Dimana rumahnya?”

“Ikuti aku!”

Kita berlari ke rumah pak Ahmad dengan terburu-buru. Sesampai disana, Bulan masih belum tak sadarkan diri, ia masih terkapar di lantai.

Aku lantas memungut pecahan piring yang berserakan, beberapa pecahan itu juga ada yang melukai pelipis Bulan.

“Kasihan sekali dia..” gumamnya. “Oh iya, hampir lupa, namaku Sofie. Kamu?”

“Aku Fexi,” jawabku sambil membuang pecahan piring itu.

Sofie memiringkan kepalanya sambil menaikkan alis. “Sepertinya
.... Aku pernah lihat kamu di .... TV kalo gak salah,” katanya.

Suatu hari nanti (KKPK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang