Bab 3

14.6K 565 0
                                    

Tanpa berpikir sedikit pun Abrisam nekat menghadang mobil Zoya dengan mobilnya hingga kedua mobil itu berdecit hebat dan menimbulkan jejak di jalan aspal yang panas. Laki-laki dengan jas rancangan desainer terbaik Indonesia itu keluar dengan semua amarah yang tersimpan sejak sepuluh tahun lamanya. Seumur hidup ia tak pernah menyimpan amarah sebesar ini. Tidak pernah.

Zoya dengan pandangan yang amat sangat mengenal wajah arogan laki-laki di hadapannya itu kini sedang menatap dengan jengah dari balik kaca mobilnya. Laki-laki itu sedang memukul-mukul kasar pada kaca jendela mobilnya, memintanya segera keluar. Zoya sangat tahu yang akan ia hadapi bukan lagi kemarahan seorang ayah, melainkan kemarahan seorang laki-laki yang pernah ia tinggalkan sepuluh tahun lalu.

"Kalau kamu ingin aku minta maaf kepada kamu, aku akan minta maaf untuk kejadian hari ini," kata Zoya ketika ia sudah berdiri tepat di hadapan laki-laki yang seluruh kulitnya sudah sangat merah karena marah itu.

Wajah laki-laki itu jauh lebih menakutkan bagi Zoya yang dahulu sudah terbiasa menghadapi amarahnya. Namun Zoya berusaha menatapnya tanpa takut atau pun lemah.

"Urusan-kita-belum-selesai." Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan sekali lagi wajahnya berubah menjadi merah.

"Urusan kita sudah selesai sejak aku meninggalkan kamu Abrisam Zaidan--" Zoya membuka pintu mobil hendak masuk ke dalam mobilnya namun tangan kokoh Abi menahan dan pintu mobilnya langsung ditutup kembali oleh Abi, "ABI!" teriak Zoya ketika ia ditarik paksa untuk masuk ke dalam mobil laki-laki itu. "Abi plis lepasin tangan aku!" dia terus memohon meski mustahil.

Abi! Abi? Kamu masih memanggil aku Abi?

Masih dengan wajah marahnya Abrisam atau biasa dipanggil Abi hanya oleh Zoya, menutup pintu mobil untuk Zoya dan ia pun segera duduk di balik stir. Ia akan membawa Zoya ke tempat terakhir mereka bertemu. Ketika pertengkaran itu terjadi. Dan Abi sangat yakin, benar-benar pertengkaran itu telah membuat Zoya semakin membencinya hingga sanggup menghilang darinya. Dari hidupnya.

Dermaga Marina Ancol, menjadi saksi pertengkaran mereka terakhir kali ketika itu. Abrisam sangat marah sehingga tak mengejar Zoya yang pergi darinya saat itu. Mereka datang bersama tapi kemudian pergi sendiri-sendiri membawa ego masing-masing.

Kali ini, di tempat yang sama, Abrisam ingin mengulangnya untuk alasan yang berbeda. Ia menarik gadis itu hingga berhenti di dermaga.

"Katakan alasan kamu meninggalkan aku?" deru napas Abi mampu mengalahkan deru suara ombak saat ini.

"Abi--kita sudah selesai. Jangan memulai pertengkaran itu lagi. Jangan memulai apa pun lagi."

"Tidak. Tidak akan pernah selesai sampai kamu punya alasan untuk meninggalkan aku di saat aku sangat--" Abi menggantung kata-katanya namun tatapan matanya tak pernah mampu membohongi untuk selalu menyimpan hanya satu orang wanita saja di mata dan hatinya.

"Kamu sudah menikah Abi, bahkan kamu memiliki seorang putri, dan itu artinya kamu bisa tanpa aku. Kamu-bisa." Sekuat tenaga Zoya menahan untuk tidak menangis di hadapan laki-laki ini lagi.

"Zoya--aku sangat membutuh seseorang untuk menguatkan aku saat itu." Wajahnya seketika berubah menjadi menyedihkan ketika ia mengatakan itu. Dan sekarang kembali dengan wajah amarahnya."Katakan sekarang. Apa yang kamu pikirkan saat meninggalkan aku?" paksanya sekali lagi.

"Kita adalah dua orang yang nggak bisa terus bersama, Abi. Tidak bisa."

"Kenapa?" Abi ingin sekali berteriak sekeras yang ia mampu ketika bertanya satu kata itu kepada Zoya.

"Akan selalu ada pertengkaran di antara aku dan juga kamu. Kamu yang sangat pemarah, dan aku ... keras kepala. Aku ingin selalu bebas memilih apa pun yang aku mau, dan kamu yang selalu ... penuh dengan aturan kamu, Abi."

Pernikahan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang