Bab 6

10.6K 509 1
                                    

Zoya terburu-buru meninggalkan kantornya menuju sebuah sekolah bertaraf Internasional di Jakarta. Tujuannya, ia akan menjemput salah satu murid di sana, Valery. Ya, Valery Zaidan Faeyza, adalah salah satu murid di sana. Entah mengapa anak itu menjadi begitu penting baginya?

Ia menyalakan mobil lalu mendongak, kemudian mengembuskan napas kasar seolah mencegah diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang mungkin saja tidak benar. "Apa yang kamu lakukan Zoya? Meninggalkan pekerjaan demi seorang anak yang ... bukan siapa-siapa. Dan ini akan membuat Abi--ah, persetan dengan dia. Aku sudah jatuh hati pada Valery. Aku hanya ingin peduli pada anak itu. Nggak ada satu pun alasan bagi aku untuk menyianyiakan seorang anak kecil." Ia menginjak pedal gas lebih dalam ketika mengingat, "Abrisam si pemarah memang nggak pantas disebut seorang ayah!"

Zoya menarik napas dalam, kemudian menginjak pedal gasnya dengan keyakinan tinggi atas apa yang telah ia putuskan.

Ketika sampai ia sudah melihat gadis kecil itu bersama seorang wanita seusia dirinya dengan rambut digelung dan kacamata minus tidak tebal yang langsung memperhatikan dengan gaya menilai.

"Selamat siang Bu, aku ingin menjemput Valery."

"Valery apa?" tanya wanita itu tegas dengan pandangan menyelidik.

"Mm, Valery Zaidan Faeyza. Putri dari Bapak Abi, um maksud aku Abrisam Zaidan Faeyza." Zoya merasa bangga ketika bisa menyebutkan nama belakang Valery, mengingat dia adalah putri dari orang yang sangat ia kenal bukan hanya dari sekadar namanya saja.

Guru itu meneliti pandangannya kepada Zoya. "Maaf Anda siapa? Bukan sekretarisnya Pak Abrisam yang biasa suka menjemput putrinya. Dan bukan juga Ibu Moza tantenya yang suka menjemput Valery." Dia berkata dengan tegas kemudian menarik napas dalam.

Valery, mendongak memperhatikan wali kelasnya kemudian beralih kepada Zoya lalu berkata, "Ibu Camelia, dia calon Mama aku. Izinkan dia menjemput aku." Valery yang masih di tangan wali kelasnya memohon dengan tingkat kecerdasan yang melebihi usianya.

Zoya terkejut dengan ucapan Valery tapi kemudian ia berpikir bahwa itu pasti hanya akal-akalan anak kecil itu saja agar ia bisa dengan mudah diizinkan pulang bersama Zoya.

"Valery..., Ibu bertanggung jawab untuk menjaga kamu sepenuhnya." Ia meneliti jari-jari Zoya dari balik kaca mata minusnya. "Ibu tidak menemukan cincin tunangan di jarinya jika benar dia tunangan ayah kamu Valery."

Hal itu membuat Zoya meneliti jarinya. "Mm..., iya aku memang bukan..."

"Mereka nggak perlu tunangan karena akan langsung menikah," kata Valery lagi. "Ibu plis, aku sudah sangat lapar. Percayalah dia bukan orang asing. Aku cuma ingin dia jadi mama aku, bukan orang lain."

"Baiklah kalau begitu aku akan menelepon Ibu Moza untuk memastikan karena beliau yang memintaku untuk menjaga Valery karena ia sedang terjebak macet."

"Baiklah silahkan." Zoya tersenyum.

Ibu Camelia menghubungi Moza dan telah memastikan bahwa ia yang telah meminta Zoya menjemput dan lupa mengkonfirmasi kepadanya sebagai wali kelas.

Valery terlihat sangat bahagia ketika akhirnya ia bisa memeluk Zoya selayaknya wanita itu benar-benar calon mama-nya.

"Ibu Camelia tenang saja, aku pasti akan mengundang di pernikahan ayah dan mama."

Guru itu tersenyum dan Zoya hanya bisa membalas senyum kaku mendengar ucapan Val yang... ya ampun ini anak!

Ketika sampai di mobil dan Zoya hendak memasangkan sabuk pengaman anak itu justru menangkapnya memeluk dan menciumnya, membuat mata Zoya membulat penuh.

"Val, kenapa kamu bilang ke Bu guru kalau... Tante Zoya dan Ayah..."

"Karena ucapan adalah do'a. Itu kata ibu aku. Ibu bilang kalau bicara jangan yang buruk-buruk, tapi yang baik-baik. Karena..., apa pun yang kita ucapkan itu adalah do'a. Jadi..., aku bilang Tante Zoya dan Ayah akan menikah, itu juga... do'a, iya kan Tan?"

Pernikahan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang