Bab 5

13.1K 536 4
                                    

Moza membuat janji bertemu dengan Zoya di sebuah kafe tidak jauh dari kantor Zoya. Sepertinya Moza sengaja agar Zoya tak dapat menolaknya dengan alasan jarak.

"Hai..., apa kabar?" Zoya langsung menyapanya begitu sampai di cafe.

"Alhamdulillah, aku baik. Maaf ya Mbak, ngerepotin kamu yang lagi sibuk di kantor aku suruh datang."

"Ah, nggak papa kok, sudah waktunya makan siang juga nih, sekarang. Kebetulan lagi ada yang mau nraktir, rezeki nggak boleh ditolak, kan." Zoya menarik kursi untuk duduk.

"Iya. Sekalian nunggu anak-anak pulang sekolah." Moza tersenyum, merasa puas bisa bicara dengan Zoya.

"Oh ya, kamu dapet kontak telepon aku dari mana?" selidik Zoya dengan senyum ramahnya.

"Aku minta sama Talita, si pengantin baru yang ngundang kita di pernikahannya itu loh."

"Oh iya, Talita. Masih honeymoon dia. Teman aku kuliah dulu, terus udah gitu kita juga sering ketemu urusan kerja." Zoya menyibakkan rambutnya sangat pelan, ia selalu merasa canggung dengan rambut terbukannya jika di hadapan wanita berhijab.

"Kalau aku sih, yah... masih ada aliran saudara jauh dari nenek aku gitu deh."

"Oh, gitu."

Mereka mulai makan sebelum akhirnya bicara serius.

"Mbak, aku... ingin bicara hal yang sangat penting."

"Ten-tang?" Zoya mengernyit penasaran, ia merasa tak pernah bertemu apalagi berurusan dengannya hingga dia memiliki sesuatu yang begitu penting untuk disampaikan kepada dirinya.

"Soal... Kak Sam."

"Abrisam? Iya, kenapa?" akhirnya Zoya dapat menebak arah pembicaraan Moza, tentunya sebagai adik dari istri mantan kekasihnya, Abrisam.

"Kenapa kalian... sampai putus waktu itu?"

"Aku dan Abi, maksud aku Abrisam,mm... sebenarnya nggak ada kata putus di antara kita. Kita pisah gitu aja, tepatnya aku yang ninggalin dia."

"Alasannya?" satu pertanyaan itu memiliki banyak arti bagi Moza.

"Mm..., sifatnya. Ya, intinya kita adalah dua pribadi yang sangat bertentangan. Nggak bisa nyatu. Aku yang selalu salah, dan dia yang selalu benar. Dia yang bebas melakukan apa pun, dan aku yang harus dalam aturannya dia. Aku nggak bisa seperti itu. Aku orang yang ingin melakukan apa pun yang aku mau. Bebas, tanpa in-ter-vensi. Terlebih lagi soal impian aku."

"Tapi Kak Sam yang aku kenal nggak seperti itu. Dia sangat baik dan lembut kepada Marwa."

"Dia begitu kepadaku. Dia juga sangat pemarah kepadaku. Aku nggak suka itu. Berusaha untuk terus bersabar, pada akhirnya nyerah juga. Akhir cerita--aku pun pergi."

"Mbak, setiap orang tentu punya cara mengungkapkan kekesalannya. Aku tau banget Kak Sam seperti apa. Dia bisa sangat pemarah pada satu alasan tertentu. Tapi dia laki-laki baik. Sangat baik. Aku tau dia kakak seperti apa, suami yang seperti apa, dan ayah yang bagaimana."

Zoya menatap wanita di hadapannya, mencari pembenaran atas kata-katanya barusan. Dia, Moza mungkin jauh lebih lama mengenal Abi dibandingkan dirinya. Tapi tidak lebih dalam darinya. Abi memang baik, Zoya tahu itu. Sangat tahu. Tapi untuk hidup bersama dengan seorang arogan, ia sulit. Abi arogan, dan ia sendiri keras kepala. Seperti api dan bensin jika bersama.

"... Wanita seperti apa, kakakmu, Marwa itu? Aku jadi kagum dengannya, dia hebat bisa meredam seorang... Abrisam."

"Kalau Kak Sam api, maka Kak Marwa adalah air, atau bahkan embun yang menyejukkan."

Pernikahan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang