Sore ini matahari masih begitu terik, silaunya matahari menembus kaca mobil Abrisam, untung saja kaca mata hitam mahalnya masih setia menyantel. Ia berbelok ketika satpam penjaga rumah mewahnya membukakakan pintu gerbang yang menjulang tinggi untuk dirinya. Ia pun terbebas dari paparan sinar matahari yang terik di hari sesore ini. Menghentikan mobilnya kemudian turun, dan seorang pria datang untuk memasukkan mobil mewahnya ke dalam garasi.
Abrisam membuka kaca mata hitam yang melekat dengan bangga di wajah tampannya ketika mendapati sebuah mobil sedan biru yang sudah ia kenali beberapa hari belakangan ini. Ia berputar memerhatikan seolah tak percaya mobil itu nyata di halaman rumahnya.
"Mobil Zoya di sini?" gumamnya tak percaya. "Zoya di sini?" dia mengernyit ragu
Setelah puas meyakinkan dirinya, ia berlari kecil tak sabar hendak melihat pemilik mobil itu. Ketika di pintu ia memelankan langkahnya.
... Dia benar-benar di sini.
Zoya...
Ia menjadi sangat tertarik ketika mendapati putrinya tertidur di pangkuan Zoya yang kemudian menggendongnya dengan sangat hati-hati. Zoya membawa Val ke kamarnya. Melihat itu Abi cepat-cepat bersembunyi agar tak tertangkap basah oleh Zoya bahwa dia sedang memperhatikan diam-diam.
Berikutnya Zoya kembali ke ruang tengah untuk mengambil blazer miliknya lalu memakainya. Saat berbalik badan Zoya terkejut tubuhnya sudah terhadang seseorang yang entah kapan sudah berada di belakang punggungnya.
"A... Bi?" ia tergagap.
"Ya."
"Aku hanya membantunya dan sekarang dia sudah tidur jadi aku harus segera per..."
"Jangan pergi dulu!" sergahnya, dan selalu seperti perintah yang harus dipatuhi siapa pun.
"Abi-aku-ingin-pulang."
Abi menarik lengan Zoya, "please, apa yang sedang kamu lakukan--jangan melakukan hal yang sama pada putriku. Kamu mengerti maksudkukan," kata-kata Abi penuh peringatan.
Zoya menatap lekat-lekat pada mata tajam laki-laki itu, ingin mengatakan sesuatu yang ia ingin tanyakan sejak tadi.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada istri kamu?" tatapan tajam Abi menjadi lemah dan tidak mengerti mendengar pertanyaan Zoya. "Rumah ini, rumah yang kamu huni bersama dengan istri kamu--desain dan seluruh warnanya adalah aku. Kenapa kamu lakukan itu padanya? Itu sangat tidak adil. Dia istri kamu, kamu yang telah menikahinya. Tapi kamu..."
"Mana yang lebih tidak adil, aku atau diri kamu sendiri? Kamu pergi meninggalkan aku di saat kita sudah membicarakan semuanya bahkan kamu sudah mendesain rumah impian dan memilih warna yang kamu inginkan. Bahkan ... kita sudah memilih ranjang untuk kita bersama."
"... Jangan katakan kamu tetap membelinya dan menempatinya bersama istri kamu. Itu sangat menyakitkan baginya. Kamu bersama dia, tapi terus memikirkan aku sepanjang malam, bahkan sepanjang hidup bersama dengan dia."
"Dia yang memilih--sama dengan pilihan kamu." Abi menarik napas dalam-dalam seperti ingin memuntahkan suatu perkataan yang sangat berat namun harus. "Dia yang meminta aku melakukan semuanya. Semua itu agar aku bisa--tenang."
Zoya menggeleng skeptis, memejam sesaat lalu berkata, "itu karena kamu selalu melihatnya ketika kamu meminta istri kamu memilih ranjang. Dia sangat penurut tentu saja dia akan memilih apa yang kamu lihat,Abi. Dan tentu saja dia akan melakukan semua itu meski hatinya hancur. Kamu tidak mengerti bagaimana wanita. Dia ingin kamu tersenyum, dia memberimu senyum, namun mungkin saja hatinya menangis."
Abi terdiam, seperti tersadar bahwa itu benar. Matanya memang tak bisa berpaling dari ranjang dengan tipe pilihan Zoya ketika ia sudah memilih untuk bersama Marwa. Dan tak bisa membuang bayangan Zoya di matanya. Tak bisa berhenti memikirkannya. Hingga akhirnya Marwa memintanya membangun rumah impian yang didesain oleh Zoya seutuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Kedua
Romance"Dahulu sebelum ayah menikah dengan ibumu, ayah memiliki pacar yang sangat ayah cintai. Tapi kemudian dia menghilang dari kehidupan ayah. Kemudian ibumu berhasil membuat ayah jatuh cinta lagi. Dan saat ini, setelah ibumu meninggalkan kita selamanya...