Aku mencicip sepotong bakwan jagung dari bekal makan siang Suri yang ia tinggalkan di teras rumahnya. Rasanya lumayan untuk tidak tega mengatakan buruk. Selain bakwan jagung ada nasi putih dan ikan dengan kuah santan yang dihias dengan tomat hijau. Aku tak yakin rasa ikan itu akan memenuhi standar masakan yang enak, tapi karena lapar dan sedang malas membuat sarapan kecuali menyeduh secangkir kopi, aku makan juga masakan Suri. Sebenarnya aku heran juga kenapa gadis itu repot-repot membawa bekal. Bukankah dia mendapat jatah makan siang di hotel yang makanannya jauh lebih baik? Ah, mungkin Suri sedang bosan masakan hotel dan sedang ingin makan masakan rumah, pikirku.
Atau, sebenarnya Suri memasak untuk Raka? Monster di dadaku bangkit lagi demi menyadari kemungkinan itu. Ya, barangkali Suri sedang belajar masak supaya menjadi istri yang baik buat Raka. Seharusnya pikiran itu menghilangkan nafsu makanku, tapi anehnya aku justru dengan lahap menghabiskan bekal makan siang itu sebagai sarapanku. Meski cara makanku sedikit brutal akibat rasa jengkel.
Ah, aku tak peduli. Aku sedang butuh energi untuk berkonsentrasi menyelesaikan laporan penelitian sebelum berangkat ke kampus.
Aku bukannya tidak tahu kalau para mahasiswi memujaku dan mahasiswa-mahasiswa membenciku. Risiko jadi dosen ganteng dan keren yang masih lajang memang kadang menyenangkan. Andai saja aku adalah pria beristri, aku yakin mahasiswi-mahasiswi itu masih mengidolakanku. Bahkan bisa jadi lebih gila lagi. Seperti yang dialami oleh Pak Aji, atasanku di kampus yang dulu, di kota Solo.
Ah, sialan. Kenapa juga aku tiba-tiba teringat Solo dan seluruh kenanganku di sana.
Hari ini aku mengajar matakuliah Introduction to Literatureuntuk tiga kelas berturut-turut dari habis dzuhur hingga pukul lima. Malamnyaaku mengajar di Pascasarjana. Di angka tigapuluh delapan usiaku, karirakademisku sudah cukup mapan dengan menjadi dosen PNS di kampus negri danmenduduki jabatan sebagai ketua jurusan Sastra Inggris. Aku dapat menarik nafaslega dan untuk sementara puas dengan pencapaianku sejauh ini. Tentu tidak mudahaku mendapatkannya. Ada perjalanan panjang dan berliku yang harus kulalui sebelum aku sampai di tempatku saat ini.
Aku bukan asli kelahiran kota ini maupun kelahiran daerah di propinsi ini. Asalku jauh di seberang pulau. Aku lahir di Magetan, Jawa Timur. Selulus SMA aku diterima di Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Inggris di kampus paling bergengsi di Yogyakarta melalui jalur UMPTN. Sastra dan bahasa Inggris memang merukapan minatku. Sedari bisa membaca, aku memang sudah terpapar berbagai macam bacaan mulai dari komik, majalah, buku. Itu karena nenekku mengelola semacam perpustakaan di rumah joglonya. Nenekku adalah wanita tercantik yang pernah kulihat setelah ibu. Dia peranakan Jerman-Jawa. Ya, ayahnya, kakek buyutku adalah pria asal Jerman yang menikahi wanita pribumi pada jaman kolonial dulu.
Nenek sendiri yang berwajah dominan Bule menikahi lelaki Jawa asli yang kemudian melahirkan ibuku yang kemudian juga menikahi lelaki Jawa tulen. Dengan demikian lebih banyak darah Jawa yang mengalir dalam tubuhku daripada darah Jerman. Tapi, aku masih mewarisi hidung mancung dan bola mata coklat serta rahang tegas dari kakek buyutku. Itu menjadikanku rupawan.
"Tapi Le, wajah tampan saja tanpa otak encer dan kerja keras tidak akan membuatmu sukses,"
Itu yang selalu diingatkan nenek padaku ketika aku remaja dulu. Saat-saat aku mulai menyadari bahwa aku tampan dan banyak perempuan tertarik padaku. Nasihat nenekku benar belaka. Itu berlaku di dunia akademis.
Aku bersusah-payah untuk lulus dengan menyandang gelar sarjana. Hampir enam tahun harus kuhabiskan untuk lulus dari kampus. Meski itu juga karena aku mengikuti program pertukaran pemuda di Jepang selama satu tahun hingga harus cuti kuliah untuk sementara. Ketika tiba saatnya mengerjakan skripsi, jalanku juga tersendat-sendat karena dosen pembimbingku terlalu idealis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Neighbor
ChickLitCerita suka-suka tentang tetangga yang seksi. Tentang cinta lintas generasi.