Wangi parfum yang lembut terhirup indra penciumanku ketika Suri masuk ke mobil dan duduk di jok penumpang di sebelahku. Untuk sesaat aku dibuai imajinasi yang meliar.
Penampilan gadis ini eksentrik dengan sarung tenun setengah betis dipadu kaus hitam ketat. Di dadanya teruntai kalung etnik dari ukiran kayu koka dan biji jali-jali warna coklat. Senada dengan sepatu ankle boots-nya. Orang-orang bisa saja menyangka aku sedang jalan dengan mahasiswiku.
Kenyataannya aku sedang jalan dengan tetanggaku yang sedang bete karena tidak diapeli pacarnya.
Aku kenal cowok itu. Raka Sanjaya. Tidak akrab, tapi aku hafal wajah dan perawakannya. Jadi, kalau dia selingkuh dan jalan di tempat umum dan kebetulan aku melihatnya, aku pasti mengenalinya. Dan jika itu terjadi aku akan sangat bungah dibuatnya.
Aku tidak berharap yang terbaik untuk hubungan mereka, Suri dan Raka. Aku justru berharap yang terburuk. Licik? Kadang kita harus bersikap licik untuk bertahan. Tapi kupikir, Suri terlalu baik untuk Raka. Gadis itu tidak hanya cantik, dia mandiri dan pintar. Anaknya juga ramah dan membumi.
Aku masih ingat bagaimana dulu kami pertama bertemu dan mengobrol. Di agen pemasaran rumah. Kami sama-sama hendak membeli rumah di Mayang Residence, hunian strategis di tengah kota. Aku sedikit tercengang mendapati seorang perempuan (kupikir ia masih usia kuliahan karena mukanya yang imut) hendak membeli rumah seorang diri seperti jalan-jalan ke mall mau beli lipstick. Wow, tangguh betul, pikirku.
Lalu, tampaknya takdir tak ingin kami berjauhan. Ternyata, kami bertetangga. Rumah yang dibelinya tepat di sebelah rumahku.
"Suri," dia mengulurkan tangan seraya mengucapkan sebuah nama.
Kujabat tangannya erat. Suri? Wah, nama yang unik.
"Daniel,"
"Pak Daniel kerja di mana?"
Wah, kurangajar, memangnya aku setua itu sampai dipanggilnya aku Bapak.
"Hanya mahasiswa saya yang panggil saya Bapak,"
"Oh, Pak Daniel dosen?" dia mengangguk-angguk, "Eh, iya, saya bukan mahasiswa Pak..eh, Om Daniel,"
"Kamu benar-benar tinggal sendiri?"
"Iya, Pak..Om.. Dulu saya tinggal sama orang tua, tapi kejauhan dari tempat kerja. Daripada ngontrak rumah, mending buat depe rumah, itung-itung invest juga.."
"Oh, ya bagus itu. Masih muda udah punya rumah. Kerja di mana?"
"Di hotel,"
"He?"
"He apa?" ekspresinya menunjukkan ia tak terima dengan keterkejutanku.
"Maaf, saya nggak bermaksud..."
"Saya front office di hotel Star 5,"
"Whoa, it's great,"
"Indeed," mata gadis ini menatap percaya diri.
Kami bertetangga sebagaimana mestinya. Aku benar-benar kagum dengan keberaniannya tinggal seorang diri. Meski orangtuanya kadang menginap juga di akhir pekan. Dia baru 22 tahun dan sudah berpikir membeli rumah meski dengan cara mencicil. Di usia segitu dulu aku hanya menghabis-habiskan honor mengajar untuk ke kafe dan mentraktir cewek. Bahkan buku dan novel saja aku pilih membeli yang bekas untuk menghemat anggaran.
Suri juga mengerjakan pekerjan domestik sendiri tanpa mempekerjakan ART.
"Nanti saya gak bisa bayar cicilan dong kalau harus gaji pembantu. Pembantu sekarang gajinya mahal, Om," begitu dia beralasan ketika aku membantunya memasang mesin cuci dan tabung gas.
Setiap hari dia berangkat kerja (tempat kerjanya memberlakukan sistem shift siang dan shift malam) mengendarai motor. Demi alasan keamanan dia tidak memakai seragam kerja yang mini dari rumah. Ia berganti seragam kerja di hotel. Lebih aman dan nyaman dalam perjalanan.
"Kita masih hidup di lingkungan Patriakhi, Om. Laki-laki masih melihat perempuan sebagai objek belaka," Suri menjelaskan panjang lebar, "lihat yang mini-mini aja pasti langsung blingstan. Kalau ada kasus perkosaan, pasti mereka menyalahkan pakaian korban,"
Perempuan tetanggaku itu memang benar-benar keren. Kalau saja dia masih jomblo, pasti akan kupacari. Sayangnya, dia sudah punya pacar. Suri mengenalkannya padaku waktu cowok itu main ke rumahnya. Tatapan matanya saja sudah membuatku tidak suka.
Eh, kenapa aku jadi ikut-ikutan bete? Aku kan sedang bertugas menghibur nona manis di sebelahku ini.
"Kamu pasti belum makan. Acaranya pasti ngaret," dosen penguji TA itu adalah temanku dan aku hafal betul kebiasaan ngaret semena-menanya.
"Burger aja, Om. Praktis. Kalau tarinya mulai tepat waktu gimana? Lagian aku lagi malas makan yang berat-berat,"
"Hmm, good idea. Ya udah, di burger mana?"
"Keep Burger aja, Om. Yang jualnya di karavan itu loh. Deket Tugu Juang ada. Kan sekalian lewat,"
Aku hampir saja mencubit pipinya gemas kalau tidak ingat dia sudah punya pacar dan itu tidak pantas dilakukan.
Kami menikmati cheeseburger sambil mengamati orang-orang yang mulai berdatangan di pelataran Taman Budaya dari dalam mobil. Malam ini seorang mahasiswa Seni Tari akan mementaskan karyanya sebagai tugas akhir sebelum menyandang gelar sarjana. Sebenarnya jarang sekali aku menghadiri pertunjukan tari di kota ini. Tidak ada yang spesial dari karya seniman-seniman di sini. Standar dan cenderung membosankan. Berbeda sekali dengan pertunjukan-pertunjukan seni di Solo, kota yang pernah kutinggali selama lima tahun.
Tapi, tadi tiba-tiba terbersit ide untuk mengajak Suri ke sini alih-alih bioskop. Kalau ini adalah kencan, aku ingin kencan kami mengesankan.
Sudah kuduga tempat ini tidak terlalu banyak pengunjung. Aku menggandeng tangan Suri menuruni tangga untuk membimbingnya menuju kursi paling depan sebab tempat ini gelap.
Kursi biru yang berada di deretan paling depan yang diperuntukkan bagi dosen, pembimbing dan penguji itu masih kosong ketika kami duduk.
***
Author's Notes:
Siapa yang pernah kencan sama dosen Sastra yang hobi pakai jeans dan menggulung lengan kemeja hingga siku?
Awawawawawawawaw!
Author gapernah sayangnya. Gue kan anak polos ini. Hwakwakwakwakwakwa!
Kalian percaya? Eh...
Katanya update tiap hari Senin, seminggu sekali, lha ini baru sehari udah update lagi. Hehe, mumpung energi lagi turah, guys..
Menurut kalian seleb lokal mana yang cocok untuk menggambarkan karakter Suri? Kasih tahu gue di komen, yaaa...
Video clipnya dari Wings punya Mbak Birdy.
O iya, gue udah memutuskan profesi yang cocok buat Suri adalah front office di hotel bintang 5. Kenapa gue memilih itu, karena nanti akan relate dengan cerita selanjutnya, relate dengan alasan kenapa Raka mutusin Suri (Ups, spoiler dikit). Kalau gue pilih PR sebagai profesi Suri, kayaknya terlalu moncer untuk gadis usia 25. Masih terlalu muda untuk punya karir sebagus itu.
Ingat, waktu Suri dan Om Daniel berkenalan, Suri udah kerja di hotel. Dan itu berati 3 tahun yang lalu kan? Yang berarti lagi usia Suri waktu itu masih 22 tahun, baru lulus kuliah. Kayaknya nggak mungkin langsung jadi PR.
Kalau kalian penasaran, ikuti terus ceritanya yaa.
Makasih loh yang udah mampir buat baca di bab sebelumnya. View, vote, komen kalian sangat berarti buat gue. Kalau banyak yang like dan komen kan gue adi semangat nulisnya. Hehe
Jangan lupa untuk vote, komen, dan share bab ini yaa J
Makasih semuanya, sampai ketemu di bab selanjutnya yaaa
Salam,
Linggar Rimbawati.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Neighbor
ChickLitCerita suka-suka tentang tetangga yang seksi. Tentang cinta lintas generasi.