07. Nyaman Sendiri

2K 42 4
                                    

Sekitar enam bulan setelah aku mencicip perkerjaan baru sebagai editor di koran lokal, ada bukaan CPNS untuk formasi dosen Sastra Inggris di universitas negeri di Kota Jambi. Universitas itu baru membuka fakultas Ilmu Budaya yang di dalamnya ada jurusan Sastra Inggris. Tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu aku pun turut serta dalam kompetisi nasional itu.

Rupanya Dewi Fortuna masih setia berada dipihakku. Aku berhasil menyingkirkan ratusan peserta tes lain dan menjadi satu-satunya yang lolos hingga tahap wawancara. Setelah melalui tahap pemberkasan dan beberapa tahap proses lainnya akhirnya aku mengantongi SK sebagai pegawai negeri.

Kabar baik itu membuat keluargaku di Magetan turut bungah. Mereka tak dapat menutupi rasa bangga mendapati putra kesayangan dapat kembali bangkit dan membuktikan bahwa dia bukan pecundang. Mereka sampai rela terbang ke Sumatra untuk  merayakan prestasi kecilku itu. 

"Kami juga sudah rindu sekali padamu, cah bagus. Kamu mau dibawakan oleh-oleh khusus?" Tanya Ibu di seberang telepon. 

"Nggak usah repot-repot, Bu. Nanti berat lho bagasinya." 

Dengan menyewa taksi, aku menjemput keluargaku di bandara Sulthan Thaha pada sore hari. Ibu dan nenekku tak bisa menyembunyikan ekspresi keprihatinannya ketika mendapati aku tinggal di sebuah kontrakan yang sangat sederhana. Kontrakanku itu memang hanya berupa bedeng petak dengan dua kamar kecil dan satu kamar mandi yang super sempit. Ruang tamu kugunakan untuk memarkir motor. 

"Nanti kalau gajimu sudah terkumpul, lekas beli rumah, ya, Le. Yang kecil-kecil saja," nasihat Bapak." Dan jangan lama-lama sendiri. Kamu butuh istri. Biar ada yang mengurus." 

Setahun setelah diangkat menjadi pegawai negeri, aku memang membeli rumah subsidi di kawasan Mendalo. Daerah itu dekat dengan tempatku mengajar. Ya, tempat itu lebih baik daripada kontrakanku meskipun aku hanya sanggup membelinya secara kredit.

Perihal menikah, entah kenapa sampai saat ini aku belum tegerak untuk mencari pasangan hidup. Padahal karir akademisku semakin moncer setelah aku berhasil menyelesaikan S3 di Amerika Serikat dengan beasiswa penuh. Bahkan, aku sudah tidak tinggal di rumah subsidi lagi, melainkan rumah dua lantai di perumahan kelas menengah.

"Kayaknya elu terlalu gila kerja, atau gila sekolah, sampai nggak minat lagi sama cewek. Minat lu udah berubah ke karir, riset, ngajar, dan...koleksi mobil.." komentar salah seorang rekan kerjaku.

Aku menanggapinya dengan mengangkat bahu.

"Jangan kelamaan sendiri, Bro. Hidup itu harus seimbang. Lu nggak pingin apa membangun keluarga sendiri? Punya anak gitu?"

Menikah? Punya anak? Rasanya imajinasi tentang membangun keluarga kecil nan bahagia sudah kandas dari kepalaku sejak hubunganku berakhir secara tidak baik-baik dengan Annisa Banowati. Ya, perempuan yang menjadi penyebab dipecatnya aku dari kampus Bina Bangsa itu telah membuatku enggan untuk memulai hubungan serius dengan lawan jenis. 

My Sexy NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang