"Hujan di akhir Desember selalu membawa memoriku kembali pada kenangan yang sedang berseteru hebat di dalam benakku. Terlampaunya waktu dan jarak yang kuskenario juga menolak upayaku untuk melebur momen indah sekaligus pahit itu. Jam, hari, bulan, hingga tahun yang terus berlipat tetap membuatku terhenti dalam satu titik yang tak pernah kuketahui ujungnya. Aku bagai pengelana yang pengecut, berlari sejauh mungkin, namun perasaan ingin kembali ke jalan yang pernah kuarungi, terkadang sekelibat muncul begitu saja tanpa permisi. Entah, bodoh mungkin sudah menggenapi diriku. Padahal, aku sendiri tahu, untuk menyambut masa depan, aku perlu berdamai dengan masa lalu."
Gadis itu duduk sambil menghirup aroma coffelatte yang bercampur dengan aroma petrichor favoritnya. Rintikan hujan menghiasi kaca jendela berkolaborasi dengan kilauan cahaya dari kendaraan yang berlalu lalang membuat pikirannya jauh melayang.
Tangannya sibuk memainkan pena yang merangkai kata demi kata dalam buku harian mininya yang berwarna tosca. Seluruh perasaannya ia tuangkan dalam tulisan, bahkan sudah 2 jam waktu terlewati, ia masih tetap dalam posisi awal dan kegiatannya yang tak berubah sama sekali.
Mungkin, ia terlalu nyaman menyelami momen-momen, dan lupa bahwa segala yang berlabel "terlalu", tidak akan baik ujungnya. Sesekali, seulas senyum manis terlukis di wajahnya, yang tak lama bertransisi menjadi air bening yang sengaja ia bendung agar tak tumpah begitu saja.
Ia tak pernah tahu, kapan dan bagaimana jalan akhir itu tiba. Yang jelas, ia tahu bahwa Tuhan selalu memberi akhir di saat permulaan itu hadir. Lagi-lagi, ia pasrah pada sang waktu yang mungkin memberinya kejutan. Apapun kejutan itu, ia percaya segalanya adalah buah dari kesabarannya.
Sudah, ini sudah terlampau batas. Ia tak seharusnya seperti ini. Kini, waktu dua jam itu sudah berkali dua. Hujan sudah mulai reda, secangkir coffelatte nya juga sudah sirna, meninggalkan sebuah cangkir kosong. Ia baru ingat, ada pertemuan dengan seseorang yang tak boleh dilewatkannya, hingga harus melangkahkan kaki dan meninggalkan zona nyamannya.
Mungkin, setelah ini waktu akan memberinya kejutan. Atau, Tuhan mulai memberikan jalan akhir pada penantiannya yang tak kunjung berakhir. Gadis itu berharap demikian. Gadis remaja, dengan kecantikan yang menghias wajahnya. Adhisty Zara.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILL YOU?
Teen FictionKetika perasaan asing mulai hadir, mampukah 'kamu' dan 'aku' melebur menjadi kita seutuhnya?