SEVEN - PEREDA

2.5K 130 71
                                    

"Apapun keadaanmu, aku selalu ingin lebih mengenalmu. Selama mungkin, selama aku masih menapaki bumi dan menyaksikan langit."

Adhisty Zara, memang seorang gadis dengan senyuman yang tak pernah pupus dari wajah manisnya. Namun, siapa yang tahu segalanya mengenai kondisi hati gadis itu? Tidak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri.

Bahkan, saat ini dirinya pun bimbang dengan apa yang ia rasakan. Tiba-tiba galau, dan mendadak moodnya berubah drastis. Moodswing gadis ini memang luar biasa.

Perlahan ia membuka diarynya dengan seksama. Membuka dari halaman pertama lalu mencermati isi yang dulu pernah ditulisnya. Begitu usai, ia melanjutkan ke halaman berikutnya, begitu seterusnya. Kira-kira, sudah pada halaman ke tujuh dirinya larut dalam kesenduan yang sudah lama tak dirasanya. Perasaan kecewa, sedih, marah pun bergulat menjadi satu dalam dirinya.

"Ra, ngapain di sini?"

Tegur suara laki-laki yang dalam waktu dekat ini telah menyita pikirannya dan sempat membuat dirinya mengabaikan masa lalu yang cukup kelam. Atau bahkan sangat kelam.

"Eh- Kak Angga. Ngapain di sini?"

"Lah, kok balik nanya? Kamu ngapain?"

"Lah, Kakak ngapain?"

"Aduh. Lo ini kenapa sih?"

"Kakak juga yang kenapa? Orang aku daritadi di sini. Udah deh jangan ganggu aku. Kalau mau ngajak ribut, jangan sekarang, plis. Suasana hati aku udah ga enak."

"Oke oke. Gue minta maaf kalau emang kehadiran gue ganggu lo. Tapi, gue emang cuma mau nanya. Tumben lo istirahat malah di taman. Biasanya ke kantin, kan?"

"Iya ga laper."

"Terus?"

"Nabrak."

"Serius, Ra? Kamu kenapa?"

"Gapapa kok. Btw, Kakak labil juga ya kadang manggil 'lo' kadang manggil 'kamu'. Ga konsisten!"

"Kalo lo nyebelin ya gue panggil kayak biasa aja. Karna panggilan "kamu" cuma buat orang yang spesial."

"Lah, berarti aku spesial apa enggak?"

"Ya tergantung sikap lo. Eh kamu. Eh gatau deh."

"Aneh."

"Tapi ganteng kan?"

"Udah ah, balik kelas aja yuk udah mau bel.", ucap Zara sembari mengambil buku diary nya berwarna kuning, warna kesukaannya.

"Yah ga asik dah. Itu apaan, Ra?"

"Kepo."

Karena rasa ingin tahu yang terlalu besar dan tak mendapat jawaban dari gadis itu, Angga berpura-pura merebut buku yang dibawa Zara. Sebenarnya, niat Angga hanya ingin menggoda demi melihat wajah gemas gadis di hadapannya. Namun, yang didapati justru berkebalikan dari ekspektasinya. Memang, ekspektasi terkadang tak sesuai dengan realita.

"Kak!! Ga lucu tau!! Gabisa ngehargain privasi orang, apa?! Oke selama ini aku akuin kalau kita emang mulai deket, tapi kita ga sedeket itu. Kita juga baru kenal sebentar. Kakak ga sespesial itu buat tau semuanya tentang aku. Balikin, atau aku bakal..."

"Raa, kenapa sih? Lagian gue juga niat bercanda kok. Ini gue balikin."

Tidak merespon omongan Angga sama sekali, Zara justru meraih kasar benda berwarna kuning yang bertuliskan "My Secret".

Angga yang mendapati perlakuan tak biasa dari Zara, cukup terkejut dan sempat terdiam beberapa saat. Menatap punggung gadis itu yang berjalan tergesa-gesa. Gadis mungil yang telah merampas hatinya. Entah kenapa, dia terus mengulas wajah gadisnya yang sangat-sangat marah. Bahkan, dirinya pun sempat melihat air mata yang hampir menetes di pipi gadis itu.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada gadisnya?

Pertanyaan itu terus terngiang di benak Angga hingga jam pulang sekolah pun tiba.

Angga yang biasanya meluangkan waktu untuk sekedar ngobrol, atau bahkan ngopi di tongkrongan favorit dekat sekolah bersama teman-temannya, kini memilih menungggu gadisnya di depan gerbang. Ia ingin meminta maaf dan sekaligus memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.

Belum lama ia menunggu, gadis mungil itu sudah terlihat dari kejauhan. Sweater pink yang dikenakan, dipadukan dengan bandana warna pink pula yang mengikat cepolan rambutnya. Sedikit acak-acak an, namun tetap manis seperti biasanya.

Gadis yang dinanti rupanya pura-pura tak melihat dirinya. Ia justru menunduk dan berjalan ke arah yang menjauhi Angga.

"Zara."

Masih belum merespon.

"Zara."

Masih sama. Gadisnya justru berjalan melampaui gerbang sekolah.

Tidak segan, Angga buru-buru meraih tangan Zara yang reflek membuat gadis itu berbalik menuju arahnya.

"Maaf."

"Buat apa, Kak?"

"Yang tadi. Aku tau aku salah."

"Gapapa kok. Aku aja yang sensi. Aku kira Kakak yang bakal marah karena kata-kataku yang lancang. Aku minta ma..."

"Enggak. Biar aku aja yang minta maaf. Mau pulang?"

"Menurut Kakak aja deh? Masa mau nginep di sini?"

"Nah gitu dong. Zaraku udah balik semula deh. Gemes!", ucapnya sambil mencubit kedua pipi Zara.

"Zaraku? Ih ngaku-ngaku.", tak mau kalah gadis itu pun mencubit perut Angga.

"Ishh! Gak papa deh aku dicubitin terus daripada dimarahin kayak tadi, serem kamu!"

"Ngetes aja kok itu Kakak kuat gaa ngadepin aku. Eh ternyata masi kuat, hehehe."

"Ngelesnya bisa aja."

"Yaudahh pulang yuk, Kak. Anterinn!"

"Enak aja! Bayar dulu, kali."

"Lah gojek aja bayarnya kalau penumpang udah nyampe tujuan. Apa-apaan nih mau dibayar dulu?"

"Yaudah ntar ya wajib bayar aku."

"Bayar berapaa? Jangan mahal-mahal. Mending aku naik gojek aja ada promo nih."

"Gabisa gitu dongg. Ga mahal kok, bayarnya ga pake uang. Tapi..."

"Tapi apa, Kak?"

"Kalau udah sampe rumah kamu nanti aku bilang."

******

"Gimanaa? Mau dibayar pake apaa? Jangan aneh-aneh loh. Nanti aku bilangin Mamam. Lagian ini kan di depan rumah aku, wlee."

Kali ini, tatapan Angga cukup dalam dan serius. Cukup membuat Zara bingung sekaligus takut dalam waktu yang sama.

Perlahan, ia mendekatkan jarak dengan Zara hingga tak tersisa celah sedikitpun. Kemudian, Angga membawa Zara dalam dekapannya yang begitu hangat.

"Aku cuma mau kamu bahagia terus. Entah apapun masalah kamu, aku harap kamu bisa melewati itu, Adhisty Zara. Mungkin, aku cuma orang yang baru sebentar mengenal kamu, tapi aku akan berusaha menjaga kamu, karena aku ingin mengenal kamu lebih lama lagi, selama mungkin yang aku mampu."

Angga masih mendekap Zara dan justru menjatuhkan gadis itu dalam pelukannya. Sangat erat. Seperti tak ingin melepas gadis itu.

"Sebentar aja ya, Ra. Aku mau tetep meluk kamu, gini. Tiga detik lagi. Eh, sepuluh detik lagi, boleh?"

"Kak, makasih ya. Aku gak tau harus ngomong apa."

"Boleh semenit lagi gak, meluknya?", ucap Angga sembari mengelus puncak kepala Zara dan semakin menenggelamkan kepala gadis itu dalam pelukan eratnya.

Masih dalam pelukan yang sangat erat, keduanya dikejutkan oleh sebuah suara yang tak asing di telinga Zara.

"Aduhh. Mau dibilangin Mamam sama Papap, nih?"

Yap. Suara itu tak lain adalah suara milik kakak perempuan dari Zara, yang akrab dipanggil Kyla.

*****

Haloo! Terimakasii banyak yang udah nungguin cerita ini. Ganyangka yang baca lumayan juga padahal niat bikin ini cuma sekedar iseng. Btw, stay safe semuaa yaaa. Jangan keluyuran ke luar rumah, mending keluyuran di wattpad aja! Hehe, luv

WILL YOU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang