Our Blue Blues

800 83 13
                                    

Sejak menyamar jadi manusia, Lucifer tidak terlalu peduli tentang apa yang dipakainya. Ia hanya memakai baju sesederhana dan sehangat mungkin, dan sebagian besar berwarna hitam. Beberapa orang gereja pernah beberapa kali bertanya mengapa ia suka memakai baju berwarna gelap. Saat itu, Lucifer hanya menjawab kalau itu warna favoritnya.

Sejujurnya, alasan Lucifer memilih warna gelap adalah karena warna itu tidak mencolok. Ia tidak ingin ada yang mengenalinya sebagai malaikat yang dahulu dikalahkan para raja iblis—mengenyampingkan keyakinannya tentang tidak akan ada yang sadar karena penyamarannya sempurna, ia hanya merasa berjaga-jaga tentu tidak ada salahnya. Lagipula, sebisa mungkin, ia ingin terlihat biasa di dunia manusia. Ia yakin penampilan itu membuatnya jadi tidak mencolok dan terlihat seperti anak yang tidak suka mencari masalah. Tujuannya menyamar jadi manusia dan rajin mendatangi gereja, 'kan, hanya untuk mengecek keadaan.

"Loh, Linus? Kamu enggak apa-apa? Kok, basah kuyup begitu?"

Pernah sekali Lucifer datang ke gereja dengan baju hitamnya yang biasa. Ia berlari-lari sampai ke kapel karena mendadak hujan deras turun di tengah perjalanannya. Dibilang malaikat pun, bukan berarti ia bisa meramal cuaca, bukan?

Di sana, ia bertemu dengan Val Gregory, anak angkat dari Owen Gregory yang merupakan pastur di gereja itu. Tentu saja bohong kalau dibilang Lucifer tidak tahu bahwa anak itu iblis, ditambah lagi ia adalah keturunan salah satu raja iblis. Bagaimanapun, Val yang memegang pecahan kekuatannya adalah alasannya untuk menyamar menjadi Linus dan rajin-rajin mendatangi gereja tersebut.

"Tadi hujan di tengah jalan—hachih ...!!"

Mengingat tubuhnya yang berwujud manusia, walau mungkin ia tidak bisa sakit parah layaknya manusia, kena hujan jelas tetap bisa membuatnya kedinginan, apalagi mengingat kekuatannya masih belum kembali sepenuhnya.

Belum sempat Linus mengusap area mulutnya yang ia tutup dengan tangan ketika bersin tadi, Val sudah lebih dulu kelabakan.

"Uwah! Kamu kedinginan, ya?! Aduh, sebentar, ya! Aku ambilkan handuk!"

"Eh, tidak usa—"

"Pokoknya, tunggu di sana, ya!!"

Val buru-buru berlari meninggalkan Lucifer, keluar dari kapel. Di pintu masuk, Lucifer melihatnya mengambil salah satu payung berwarna merah, kemudian membukanya lebar untuk melindungi diri dari hujan. Di luar, sekilas, Lucifer melihatnya berlari buru-buru, membuatnya khawatir kalau-kalau celana panjang yang dipakai Val basah terciprat kubangan air, lumpur, dan hujan.

Yah, namun, itu bukan urusannya, bukan?

Sembari menunggu Val, Lucifer berjalan masuk ke dalam kapel, tidak ingin berdekatan dengan pintu gereja yang terhubung dengan dunia luar, tempat di mana air-air hujan sedang saling beradu untuk terjun menabrak tanah. Yah, antara itu ... atau mungkin hanya kebiasaannya suka dekat-dekat dengan area podium tempat pastur biasanya memberitakan injil ketika kebaktian.

Kapel tempatnya berada itu bisa diblang sederhana, tidak ada hiasan patung Maria atau semacamnya. Yang membuatnya indah adalah kaca-kaca patri yang menghiasi dinding bagian atas. Kapel itu tidak heboh dan bisa dibilang biasa-biasa saja, namun cukup untuk orang yang ingin mencari ketenangan.

Kadang Lucifer heran, mengapa iblis macam Val bisa-bisanya betah tinggal di gereja itu. Iblis pada umumnya menjauhi gereja, mungkin karenanya Val disembunyikan di tempat itu. Sejujurnya, ia cukup takjub pada bawahan Mammon yang sampai terpikir menyembunyikan anak raja iblis dari ketamakan itu di bangunan tempat memuja Tuhan tempat ia berdiri saat itu.

"Linus, maaf lama, ya!"

Ketika Val datang lagi, Lucifer yang tadinya berdiri sembari menatap area depan kapel langsung menoleh, kemudian tersenyum kecil layaknya apa yang ia lakukan biasa.

The IrregularsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang