Val punya hobi untuk duduk lama di dalam kapel seusai misa. Suasana gereja yang tenang membuatnya lebih tenang, apalagi kalau sedang stres, contohnya: ketika besok ada ulangan, atau ada tugas yang sulit. Bagi Val, duduk diam di dalam kapel adalah caranya meredakan beban pikiran.
"Val."
Ketukan ringan menimpa kepala Val, membuat pemuda itu menoleh. Seorang pemuda berambut hitam berdiri di belakangnya sembari menyodorinya botol air mineral dan berucap, "Buat Val."
Ketika Val menerima botol itu, pemuda tersebut duduk di sebelahnya.
"Terima kasih."
"Iya, sama-sama. Kamu kenapa bengong begitu? Capek?"
Val mengangguk pelan sembari membuka tutup botol di tangannya.
"Misanya panjang banget."
"Haha, iya juga, sih."
Air di dalam botol diteguk, kemudian Val menghela napas. Setelahnya, ia melirik pemuda di sebelahnya.
"Kamu kenapa belum balik? Mana pakai bawa minum segala. Eh, aku enggak bawa uang buat ganti, nih."
Pemuda berambut hitam itu tertawa kecil sembari membetulkan sedikit syal biru tua yang melingkari lehernya.
"Enggak usah, aku memang mau kasih kamu, kok. Sayang, ya, kali ini aku bukan bawa kue."
Val tertawa kering. Ia paham bahwa pemuda itu pasti berpikir hal yang sama dengannya: makan kue sambil nongkrong di gereja itu bukan kombinasi yang bagus.
"Kamu suka banget kasih kue, sih."
"Dari kakakku, kok."
"Bohong. Marc bilang Eva enggak pernah titip beli kue sama dia."
Pemuda itu hanya tersenyum kalem mendengar Val membeberkan bukti. Tangannya kemudian terulur, mengambil botol air mineral dari tangan Val dan meminumnya sembari menghadap ke depan. Setelahnya, ia melirik Val.
"Dia cerita, ya? Ketahuan, deh."
Val tersenyum canggung.
"Memang buat apa kamu bawa kue? Kalau mau berkunjung, 'kan, tinggal berkunjung."
Lawan bicara Val tertawa ringan.
"Entah, ya. Anggap saja aku berniat berbagi."
Val mendengus, kemudian memandang ke bagian depan gereja, mengalihkan pandangannya dari remaja berpakaian serba hitam itu.
"Omong-omong, kamu lagi stres?"
Mendengar pertanyaan macam itu dari lawan bicaranya, Val melirik ke sampingnya.
"Ah, maaf, bukannya sok tahu, tetapi wajahmu berkata begitu." Pemuda bersyal biru itu menambahkan sebelum Val sempat membalas.
Val tersenyum tipis.
"Ah, bukan apa-apa, kok. Aku cuma …."
Val terhenti, menggantung ucapannya. Pemuda berambut pirang itu tertunduk. Dari sampingnya, teman nongkrongnya menatap pensaran.
"'Cuma' apa?"
Val terdiam.
"Val?"
Tubuh Val kaku. Ia menggerakkan jari-jarinya, mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuan.
Tidak, Val bukannya tidak ingin menjawab temannya, namun … ini aneh sekali.
Val berkeringat dingin. Pemuda pirang itu mulai panik.
Mengapa ia tidak bisa menemukan lanjutan ucapannya?
Tidak, tunggu, tadi ia sempat menyebut nama "Marc". Memangnya pemuda di sebelahnga ia mengenal Marc? Atas dasar apa ia menyebut nama Marc kalau lawan bicaranya bahkan tidak kenal dengan iblis suruhan teman sekolahnya itu? Dan, siapa "Eva"?
Lalu, tunggu, mengapa ia di gereja? Bukannya ia seharusnya sudah ….
Bapa Gregory yang selalu jadi alasanku mengikuti misa, 'kan, juga sudah ….
"… Li … nus …?" Dengan suara tertahan, Val memanggil orang di sebelahnya. Manik merahnya melebar horor.
"Ya?" Balasan itu terlontar dengan begitu tenang. Namun, Val merasakan aura berbahaya di sebalahnya, membuat tubuhnya merinding.
Ada yang salah dari situasi itu.
"… Aku—kita … kenapa ada di sini, ya …?"
"Hm?" "Linus" bergumam. Dengan suara yang lembut, ia berujar, "Katamu tadi misa."
Jawaban itu memang benar, namun terasa sangat tidak wajar. Ada yang aneh dari cara Linus menjawab.
Misa, benar. Tadi Val sendiri yang bilang soal misa. Tadi Val mengingat kalau mereka baru saja selesai misa. Tetapi, siapa yang membawakan misa itu? Val tidak ingat. Isi misanya pun bagai tembus pandang.
Dan lagi, ia tahu ada yang membuatnya kesusahan sampai bisa bengong di dalam kapel gereja itu sebelum Linus datang, tetapi mengapa Val tidak ingat apa yang membuatnya merasa kesusahan begitu? Tugas makalah? Ulangan fisika? Hasil ujian Biologi? Apa?
Suara tawa kemudian lepas dari Linus, membuat Val refleks menoleh.
"Maaf sudah mengerjaimu, Val." Linus ikut menoleh ke arah Val, membalas ekspresi bingung pemuda itu dengan senyum kalem. Val semakin bingung mendengar permintaan maaf tadi.
"Mengerjai? Apa maksudmu?"
Senyum Linus semakin tertarik, membuat Val sejujurnya semakin tidak nyaman dengan situasi yang dihadapinya.
Linus kemudian berdiri, ia menunduk memandang Val yang masih duduk. Lalu perlahan, angin berhembus, Val merasakan wajahnya mendingin diterpa angin, rambut dan syal Linus juga mulai bekibar dalam pandangannya.
Manik merah Val berangsur melebar saat tubuh remaja di hadapannya perlahan tampak membesar dan meninggi, bahkan melebibi tinggi badan Val. Pakaian anak itu juga mulai berubah.
Yang lebih mengerjutkan, di belakang Linus, aura hitam pekat yang begitu mengerikan terlihat. Harusnya Val merasa asing, namun sesuatu dalam dirinya berteriak seakan mengenal aura itu.
Linus masih tersenyum. Ketika angin itu mulai berhenti, Linus yang penampilan sudah berubah drastis secara mistis kembali membuka mulut.
"Saatnya kembali ke dunia nyata. Sampai nanti, Val."
Kegelapan mulai memenuhi pandangan setelahnya. Bersamaan dengan dominasi warna hitam pekat dalam pandangannya itu, memori-memori mengerikan menghampiri ingatan Valac.
… Ah, benar juga …. Linus, 'kan ….
Setelahnya, Valac meninggalkan bunga tidurnya, membuka manik merahnya dan kembali ke dunia nyata … tempat di mana ia harus mengejar Linus untuk membalaskan dendamnya.
Seperti pagi-pagi biasanya, Valac kembali bersumpah, ia tidak akan mati sebelum berhasil membalaskan dendamnya pada Linus, malaikat jatuh yang sudah dengan tega membunuh kedua sahabatnya.
--------------------
A/N:
Happy Belated April Fool.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Irregulars
Fanfiction-Aegis Orta- [Fanfictions Collection] Seingin apa pun, kau maupun aku tidak akan bisa menjadi biasa. Kita ini tidak biasa. Panggung sandiwara harus dibubarkan, kau harus sadar bahwa dirimu bukan apa yang mereka sebut "biasa". Oh, ya, kamu tidak ingi...