Everlasting Enigma

562 65 30
                                    

A/N:

Cerita ini berlatar waktu ketika perang telah berakhir.

--------------------

Valac benar-benar tidak mengerti isi kepala Lucifer. Sekilas, malaikat jatuh itu hanya terlihat seperti orang sinting yang dengan mudah bilang ingin memusnahkan sesuatu seenaknya. Namun, setiap Valac berargumen dengan pria itu, entah mengapa pria itu selalu bisa membalas dengan tenang dan terkadang Valac bahkan tidak bisa menajawab balik—bukan karena ia setuju.

Dengan sifat Lucifer yang demikian, sejujurnya Valac sudah sangat tidak ingin berurusan dengan penipu itu.

Bahkan, walau sekadar berjalan berdampingan seperti hari itu pun, Valac sebenarnya ogah.

"Aku bukannya memaafkanmu." Valac terus berjalan sembari menatap ke depan. "Hanya saja nuraniku tidak mengizinkanku membunuh orang secara sadar."

Iya, seharusnya ia membunuh Lucifer ketika kesempatan itu datang sebelum ini. Lucifer sudah mengambil teman-temannya. Namun, dibesarkan oleh manusia dan sebagai manusia, ada sesuatu yang tanpa sadar menahan Valac untuk menghabisi nyawa Lucifer. Entah harus disebut sial atau apa.

"Kamu yakin cuma itu? Bukannya karena kamu masih menganggapku teman?"

Valac memejamkan maniknya sejenak, menahan kesal karena celetukan santai pria di sebelahnya.

"Kamu gila, ya? Masih lebih baik aku berteman dengan Raja Amon daripada kamu."

"Apa itu juga berarti kamu lebih suka terjebak bersama Amon dan disuruh menjaganya?"

Valac diam tidak berkutik mendengar pertanyaan dengan nada sok polos itu. Sial, tidak. Mau itu Lucifer atau Amon, Valac tidak mau dilimpahi tugas untuk menjaga mereka … seperti sekarang.

Bahkan mengurus Lancelot, anjing lamanya yang ia pelihara di gereja, masih terasa lebih menyenangkan daripada mengurus Lucifer—dan mungkin juga Amon. Siapa, sih, yang mau disuruh menjaga orang yang lebih kuat darimu? Apalagi kalau kamu dendam dengan orang itu.

"Kamu masih lucu, ya, Val."

Lucifer tertawa kecil, membuat Valac refleks menoleh dengan wajah jengkel.

"Hentikan cara bicara seperti itu. Kamu ini sedang memperlakukanku seperti orang bodoh, ya?"

Senyum Lucifer tampak terangkat mendengar hardikan Valac, memperkuat tebakan Valac bahwa pria itu memang sengaja membuatnya kesal. Sial, padahal saat itu juga, Valac rasanya sudah ingin menyambar kerah Lucifer, menyerap energinya, dan membuatnya menderita sampai lenyap tidak bersisa.

Padahal kalau tidak diminta tolong oleh para malaikat untuk mengawasi Lucifer, Valac tidak perlu lagi berdekatan dengan malaikat tidak murni itu.

"Yah, sudah kuduga kamu akan menolak. Tidak masalah, kok. Kami hanya tinggal memberi hukuman yang lebih berat pada Lucifer kalau dia berulah lagi."

"Hah? Tunggu, apa? 'Kalau?' Kalian mau membiarkannya berkeliaran begitu saja?"

"Yah, orangnya sendiri sudah kami hukum, dan katanya sudah tidak punya maksud memusnahkan iblis lagi, jadi kami anggap semuanya aman. Tadinya kami minta tolong padamu sebagai jaminan, tetapi kamu menolak, apa boleh buat."

The IrregularsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang