Aku merintih dalam diam, menikmati rindu yang kian menikam.
Aku rindu tak tertahan, tetapi tak ada yang bisa kulakukan.
Bisakah kuulang waktu agar luka ini tak jadi lebam?
Atau malah kubiarkan rindu ini membunuh secara perlahan?Aku termenung bersama malam bercerita betapa aku mencintaimu dan aku selalu berharap itu cukup.
Ternyata aku salah, cinta saja tak cukup jika kita berbeda.
Rasanya seperti terkubur hidup-hidup.
Ketika tahu, keyakinan kita ternyata tak sama.Aku bisa saja menolak semesta, mengingat kebaikanmu yang tiada tara.
Tetapi apa aku tega menyakiti Tuhanku karena lebih memilihmu?
Aku juga bisa saja mengikuti kenyakinanmu agar kita sama.
Tetapi dimana letak nuraniku setelah apa yang dilakukan Tuhanku untuk hidupku?Sebenarnya bisa saja kita bersatu.
Memilih enggan perduli dengan perbedaan di antara kita.
Hanya saja kita terlahir di zaman dulu.
Di mana keyakinan tak bisa kita satukan dengan alasan cinta.Kurasa kita memang tak bisa seirama.
Sekeras apa pun aku berusaha, pada akhirnya kita tetap akan berpisah.
Perihal rasa, kita memang sama.
Tetapi keyakinan bukanlah hal yang harus kita bantah.Aku tahu sejak pertama kali menatap matamu, aku pasti kan terpikat.
Tetapi aku juga sangat tahu, kita takkan pernah bisa terikat.
Usaha kita untuk bersama tidaklah berakhir sia-sia.
Hanya saja kita memang terlalu memaksa semesta untuk bersama.Tak apa setidaknya kita pernah mencoba.
Aku tak menyesal mengenalmu bahkan mencintaimu.
Yang kusesalkan mengapa semesta begitu tega.
Membuat kita bertemu tetapi juga tak merestui kita bersatu.Untuk yang terakhir, terimakasih pernah mau.
Meski akhirnya berujung pilu, setidaknya aku tahu.
Ada satu perbedaan yang tak bisa membuat kita bersatu.
Meski bersamamu memanglah hal yang kutunggu sejak lalu.