Mungkin sudah hampir tiga puluh menit lamanya Hangyul duduk diam di atas kursi meja makan dengan sebuah ballpoint biru di tangan kanan dan secarik kertas di hadapannya. Kedua alisnya berkedut, kedua kakinya bergoyang-goyang di bawah meja. Kepalanya terus diajak bekerja: berpikir menimbang-nimbang. Hati kecilnya mengatakan bahwa dia tidak harus melakukan ini, tapi keadaan memaksanya berbuat sebaliknya. Tuan Cho sudah sangat berbaik hati memberi Hangyul cukup lama waktu untuk berpikir: mungkin hampir tiga atau empat tahun sejak pertama kali dia dibawa pulang ke rumah itu. Tapi tetap saja, sampai sekarang Hangyul tetap tidak mau melakukannya.
“Kau tidak harus menyetujuinya kalau memang tidak mau menjadi anak angkatku.”
Suara pria paruh baya yang tiba-tiba masuk ke dapur itu melunturkan seluruh pikiran Hangyul. Anak laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu mengangkat kepalanya. “Aku bukannya tidak suka tinggal dengan Ayah.”
Tuan Cho tertawa. Dia menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke dalam cangkir, lalu ikut duduk di sebelah Hangyul. “Aku tahu,” katanya santai. “Kau suka pada Seungyoun, ya?”
Tebakan itu mengalir begitu saja dari mulut pria yang lebih tua, tapi efeknya sungguh besar bagi Hangyul. Dia tersentak, bersamaan dengan itu pula wajahnya memerah. Anak itu jadi salah tingkah sendiri. Itu benar-benar kelihatan lucu. “Maafkan aku ... bukannya bermaksud merusak ...”
“Tidak,” potong pria itu cepat. “Itu tidak ada salahnya,” katanya. Dia menyeruput kopi itu sebentar.. “Aku suka padamu, Hangyul. Kau anak yang baik dan karena itu aku ingin kau menjadi bagian dari keluargaku. Menjadi bagian dari keluarga itu, tidak hanya harus menjadi anak angkatku saja ...”
Hangyul mengangkat kepalanya, menyatukan alisnya sambil menatap pria itu bingung.
“Kau juga bisa menjadi menantuku.”
Kalimat itu membuat Hangyul tercekat, rasanya malu sekali. Kalau dia sedang minum pasti air sudah menyembur begitu saja dari mulutnya.
Melihat reaksi Hangyul, tawa pria itu mengeras. “Kamu sangat lucu,” katanya sambil mengacak-acak rambut Hangyul. Hangyul menunduk, melempar tatapannya ke arah lain karena merasa sangat malu.
Senyuman di bibir pria itu tiba-tiba hilang tidak lama kemudian. Seperti tiba-tiba teringat sesuatu dia berhenti mengelus kepala Hangyul. Dia menyeruput kopinya lagi, lalu dengan suara kecil dia membuka suara, “Tapi, Seungyoun itu mirip denganku. Mungkin dia tidak sebrengsek aku, tapi tetap saja, aku tidak tahu anak itu akan tumbuh menjadi anak yang seperti apa,” katanya sambil menatap ke luar jendela. “Seungyoun bukan laki-laki terbaik. Mungkin dia akan menyakitimu. Jadi, aku harap kau akan memilih orang lain saja.”
Hangyul hanya menatap pria itu bingung. Beberapa hal yang dikatakannya tidak bisa dicerna dengan baik oleh kepalanya. Hangyul hanya bisa mengangguk-angguk kecil menanggapinya.
Melihatnya, pria yang lebih tua itu tertawa lagi. “Sudahlah,” katanya sambil mengacak rambut Hangyul lagi sejenak. “Surat pengajuan adopsi itu tidak perlu dipikirkan lagi. Kau ‘kan bisa tetap tinggal di sini tanpa menjadi anak adopsiku,” katanya sambil tersenyum manis.
Hangyul membalasnya dengan sebuah anggukan semangat dan senyuman yang lebar.
“Ayo temani Ayah jalan-jalan sebentar, nanti Ayah belikan susu pisang.”
Mendengar ajakan yang sangat menggiurkan itu, Hangyul melompat turun dari kursi dengan bersemangat. Dia berlari kecil, menyambut uluran tangan ayahnya dengan tawa yang riang.
Hangyul tidak tahu sudah berapa lama memandangi foto mendiang ayahnya di dalam ponselnya. Nasihatnya bertahun-tahun yang lalu itu tiba-tiba diingatnya kembali. Waktu itu Hangyul masih terlalu kecil untuk mengerti kenapa ayahnya bicara seperti itu, kenapa dia bilang Seungyoun bisa menyakitinya. Sekarang dia sudah paham betul maksudnya. Seharusnya Hangyul mendengarkan kata-kata ayahnya. Seharusnya dia berusaha berhenti menyukai Seungyoun sejak lama. Itu hanya membuat hidupnya terasa lebih berat saja sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
batas. [seungyul]
Fanfiction[COMPLETE] Bagi Hangyul, Seungyoun itu dekat, tapi juga jauh. Seungyoun itu tergenggam, tapi tidak terjangkau.