delapan.

6K 888 561
                                    

Hangyul jarang sekali menghabiskan waktu di ruangan manapun di apartemen itu kecuali di dalam kamarnya sendiri, tapi setidaknya dia tahu di mana Seungyoun menaruh pemanggang roti dan Hangyul beruntung menemukan sisa beberapa potong roti gandum di dalam lemari. Hangyul biasanya tidak pernah sarapan, atau saat sedang ingin sarapan dia memilih untuk makan di kantin sekolah beberapa menit sebelum masuk kelas. Tapi, hari ini dia berinisiatif menyiapkan sarapan. Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk orang yang sejak semalam kemarin tidur seperti orang mati di kamarnya sendiri.

Hangyul selesai dengan dua potong roti panggang, telur goreng, dan susu sapi hangat dalam beberapa menit saja. Dia membawa nampan itu santai ke kamar Seungyoun sambil bersenandung santai. Ketika sampai di dalam, Hangyul terkejut nyaris terlalu berlebihan. Dia hampir menjatuhkan nampan sarapan yang dibawanya.

Seungyoun ada di sana. Tapi tidak seperti semalam dia sekarang terjaga, sambil duduk bersandar pada kepala ranjang dia tersenyum sangat lebar, lebih menyilaukan dari pada cahaya matahari pagi yang mengintip dari jendela. Menaruh sarapan selagi Seungyoun tidur itu hal yang mudah, tapi sekarang Seungyoun ternyata sudah bangun dan itu membuat Hangyul malu saat dia menatapnya dengan intens seperti itu.

“Apa itu sarapan untukku?”

Hangyul melempar tatapannya ke arah lain. Dia berjalan mendekat pelan-pelan sambil tetap berusaha menghindari tatapan Seungyoun. “Hm,” katanya, bergumam tidak jelas.

“Oh, itu manis sekali.”

“Aku hanya kasihan karena kau tidur sejak kemarin seperti tidak akan pernah bangun,” balas Hangyul cepat sambil menaruh nampan di atas meja dekat ranjang.

Alih-alih membalas, Seungyoun hanya diam. Dia masih tersenyum sambil memerhatikan setiap gerak-gerik Hangyul seperti itu adalah hal paling menarik di dunia. Hangyul tidak terlalu menyadarinya sampai Seungyoun meraih sebelah tangan Hangyul, lalu mengusap-usap punggung tangannya lembut. Hangyul jadi membalas tatapannya. Senyuman Seungyoun yang sangat manis itu membuatnya malu untuk beberapa alasan.

“Apa?” Hangyul membuka suaranya, sedikit ketus.

Seungyoun menggeleng kecil. “Kau tidak pergi,” katanya. “Aku senang.”

Hangyul mendengus. "Kalau kau mati di sini tanpa ada yang tahu, nanti aku bisa repot."

Seperti tidak mengindahkan kata-kata tajam Hangyul, Seungyoun tertawa kecil. Suaranya terdengar manis sekali. Hangyul terdiam sejenak, memikirkan beberapa hal. Dia tidak pernah melihat Seungyoun tampak sebahagia itu sebelumnya dan itu membuat hatinya ikut menghangat dalam berbagai cara.

Lamunan singkat Hangyul seketika luntur ketika Seungyoun tiba-tiba menarik tangan yang digenggamnya kuat hingga Hangyul oleng dan jatuh ke atas ranjang. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Seungyoun langsung menindih dan memeluknya supaya tidak bisa ke mana-mana.

"Seungyoun lepaskan aku!"

"Tidak mau," balas Seungyoun sambil mempererat pelukannya. Dia mengusap-usap kepala Hangyul penuh sayang beberapa kali. "Tiduran denganku sebentar di sini," katanya.

"Kenapa kau jadi seperti anak kecil, sih," Hangyul menggerutu sambil berusaha mendorong wajah Seungyoun yang terlalu dekat dengannya. "Aku harus sekolah," tambahnya.

"Ya sudah, nanti aku antar sambil pergi ke kantor."

"Kau tidak boleh keluar! Kau masih demam."

"Aku sudah baikan, sungguh."

"Kau masih harus istirahat!"

Seungyoun menggelengkan kepalanya kuat. "Sungguh, aku sudah sembuh."

batas. [seungyul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang