Mungkin sudah hampir sepuluh menit lamanya suasana hening terus mendera di antara suara mesin mobil yang melaju lumayan kencang dan bunyi riuh lalu-lalang lalu lintas di luar sana. Kenyataan itu tidak mengganggu sama sekali sampai lampu lalu lintas yang menyala merah memaksa Seungyoun berhenti menatap jalanan sejenak dan akhirnya melirik ke kursi penumpang sedikit tanpa sadar.
Hangyul duduk diam sambil tidak berhenti menatap ke luar jendela. Tatapan Seungyoun yang cukup intens tidak sama sekali menginterupsi pikirannya yang sepertinya melayang ke mana-mana. Seungyoun menghembuskan napas berat. Seragam sekolah Hangyul kelihatan sangat kotor dan ada lubang kecil di bagian lengannya. Tapi, itu bukan sebuah pemandangan baru baginya. Seungyoun sudah beberapa kali membelikan Hangyul seragam sekolah yang baru, tapi pada akhirnya seragam itu akan kotor lagi, akan berlubang lagi dalam waktu singkat.
Lampu lalu lintas sudah menyala hijau. Seungyoun kembali mencoba menfokuskan dirinya pada jalanan, tapi pikirannya tetap tidak bisa berhenti tertuju pada orang yang duduk tepat di sebelahnya. Dia tidak mengerti Lee Hangyul. Mungkin, dia tidak akan pernah mengerti. Sebanyak apapun Seungyoun berusaha membuatnya hidup dengan nyaman, Hangyul tidak pernah bersikap seperti apa yang Seungyoun harapkan. Mungkin jiwanya memang sebebas itu. Mungkin sikap baik Seungyoun justru membuat Hangyul merasa terkekang.
Seungyoun pernah mencoba bersikap tidak peduli satu-dua kali. Tapi tidak mendapati kehadiran Hangyul sama sekali di apartemennya ternyata membuatnya sulit tidur di malam hari. Pada akhirnya, sebanyak apapun dirinya dipanggil ke sekolah Hangyulㅡuntuk menerima ceramah berjam-jam tentang perilaku Hangyul yang tentu saja Seungyoun sudah bisa menebak betulㅡtetap tidak bisa membuat Seungyoun berhenti peduli pada anak itu.
“Turunkan aku di depan.”
Suara berat Hangyul terdengar memecah keheningan, melunturkan lamunan Seungyoun. Dia melambatkan laju mobil secara refleks, tapiㅡtentu sajaㅡSeungyoun tidak menghentikan mobilnya karena mereka sama sekali belum sampai di apartemen Seungyoun. “Mau ke mana?” tanyanya.
“Rumah Seungwoo.”
“Terakhir kali kau bilang ingin ke rumah Seungwoo, kau pulang dalam keadaan mabuk berat.”
“Apa pedulimu?”
“Kau masih di bawah umur,” Seungyoun membalas cepat, nada suaranya meninggi. “Jika sekolah tahu, mereka akan mengeluarkanmu.”
“Itu bukan urusanmu,” balas Hangyul tidak acuh. “Urus saja pekerjaanmu yang banyak itu. Kau baru saja membuang-buang waktu dengan datang ke sekolah dan menghabiskan dua jam percuma hanya untuk mendengarkan ceramah tidak penting dari mereka.”
“Hangyul,” Seungyoun nyaris kehilangan kesabarannya. “Aku tidak mengerti apa yang kau inginkan.”
Hangyul menghembuskan napas berat. “Jangan bercanda. Aku sudah sering mengatakannya padamu.”
Seungyoun terdiam. Sesuatu yang berat terasa seperti menekan-nekan dadanya saat itu. Ya, mungkin dia tahu apa yang sebenarnya Hangyul inginkan. Bahkan sebelum Hangyul mengutarakannya secara gamblang, Seungyoun sudah berpikir bahwa sebenarnya Hangyul tidak ingin tinggal bersamanya. Dia ingin keluar dari rumah itu. Dia ingin tinggal sendiri dan menjalani hidup yang bebas. Tapi, Seungyoun tidak bisa membiarkan itu terjadi. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Hangyul tinggal sendiri dengan bebas. Mungkin perilakunya akan menjadi lebih liar dari pada sekarang.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan,” Hangyul membuka suara setelah membiarkan detik-detik sebelumnya hening. “Percayalah, aku akan menjalani hidup yang lebih baik jika tinggal sendiri.”
“Hidup yang lebih baik? Apa yang bisa anak kecil seperti kau lakukan? Bertahan hidup dengan makanan sisa dan terlibat perkelahian dengan gangster di jalanan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
batas. [seungyul]
Fanfic[COMPLETE] Bagi Hangyul, Seungyoun itu dekat, tapi juga jauh. Seungyoun itu tergenggam, tapi tidak terjangkau.