empat.

5.3K 962 403
                                    

Hangyul memandangi bungkusan dengan pita merah yang di dalamnya sudah diisi kue kering yang dibuatnya dengan Hyunbin (atau, sebenarnya Hyunbin yang lebih banyak berperan dalam membuat kue itu). Anak-anak perempuan di klub memasak sebenarnya sangat baik meskipun mereka tidak berhenti tertawa sejak Hangyul masuk ke dalam ruang memasak. Beberapa dari mereka membantu membungkuskan kue kering itu untuk Hyunbin dan Hangyul. Ya, meskipun pada akhirnya bungkusannya terlalu manis seperti ini. Hangyul bahkan jadi malas memberikannya pada Seungyoun. Rasanya jadi malu sendiri kalau dibayangkan.

“Hei, jagoan. Apa itu hadiah dari pacarmu?”

Suara yang tiba-tiba terdengar dari sisi tubuhnya itu menarik perhatian Hangyul. Sebenarnya dia sudah bisa menebak suara siapa itu bahkan sebelum menoleh ke asal suara. Oh, seharusnya dia tahu bahwa keadaan yang damai tidak akan bertahan terlalu lama. Orang-orang itu berdiri di antara sela dua bangunan yang lumayan tinggi. Ada bau sampah busuk yang menyengat di sekitar tempat itu. Tapi, itu tidak membuat Hangyul melangkah menjauh sama sekali.

Tiga orang itu menatap Hangyul dengan santai, meskipun Hangyul tahu ada kebencian yang mereka simpan jauh di belakang wajahnya. Salah satu dari mereka masih mengenakan perban di bagian lengan. Hangyul masih ingat bagaimana dia bertanggung jawab atas luka itu. Tentu saja mereka tidak bisa menerima kekalahan mereka tempo lalu itu begitu saja. Atau mungkin mereka menaruh dendam soal salah satu teman mereka yang sekarang tergeletak tidak berdaya di rumah sakit.

Salah satu dari mereka maju, lalu menarik kerah Hangyul kasar, mengisyaratkan tanda perang. Bahkan meskipun Hangyul sedang malas meladeni mereka, dia harus melakukannya. Ketika orang lainnya maju dengan sebuah kepalan tangan yang menuju wajah Hangyul, Hangyul mau tidak mau harus membalasnya.

Selalu seperti itu. Orang-orang itu yang menantangnya, Hangyul hanya meladeni mereka. Itu adalah pilihan Hangyul untuk melawan. Meskipun, risikonya adalah kalah atau menang pada akhirnya dia akan terkena masalah. Hangyul bukannya senang melakukannya. Dia hanya tidak tahu bagaimana bisa keluar dari lingkaran itu.

Ah, sial. Terlalu banyak hal yang mengganggu di pikiran Hangyul membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.

Tapi, itu tidak masalah. Mereka bukan tandingannya. Hangyul pernah membuat mereka semua terkapar satu kali dan dia akan melakukannya lagiㅡ

ㅡatau, tidak juga.

Hangyul menyesal sudah sedikit lengah. Seseorang yang tidak terlalu dia kenal tiba-tiba muncul dari belakang dengan sebuah pipa besi yang lumayan panjang. Hangyul tidak ingat detailnya, tapi punggungnya tiba-tiba terasa sangat nyeri hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Orang-orang itu memanfaatkan celah itu untuk menghabisi Hangyul.

Satu, dua, tiga ... dia tidak bisa menghitung lagi berapa banyak pukulan yang dia terima.

Kepalanya mendadak terasa pening. Hanya beberapa detik setelahnya, pandangan Hangyul menggelap dan dia tidak mengingat apa-apa lagi.














Satu hal yang membangunkan kesadarannya adalah suara klakson mobil di jalanan dekat sana yang terlalu keras dan tiba-tiba. Tidak butuh waktu terlalu lama bagi Hangyul untuk membuka mata sepenuhnya kemudian. Bau sampah busuk yang menyengat di sekitar sana membuatnya ingin muntah, tapi apa yang lebih buruk dari pada itu adalah sekujur tubuhnya yang berdenyut-denyut menyakitkan. Hangyul bahkan tidak bisa merasakan sebelah kakinya. Dia tidak pernah terluka separah ini karena perkelahian sebelumnya.

Berusaha menegakkan tubuhnya, Hangyul akhirnya bisa duduk bersandar ke tembok setelah mencoba dengan bersusah payah. Perutnya semakin terasa nyeri ketika ditekuk. Itu membuatnya muntah beberapa kali, meskipun tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya kecuali satu-dua tetes darah.

batas. [seungyul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang