Young wings

5K 382 33
                                    

Felix berjalan mendekat, ia tersenyum kecil saat netranya bertemu tatap dengan sepasang yang lain tengah duduk diatas pagar pembatas yang ada di belakang Komplek perumahannya.

“Kesini lagi?”. Tanyanya.

Felix gak jawab, dia jalan kearah pria yang lain. Menaiki banyak sekali barang-barang bekas yang runcing dan tajam lalu ikut duduk di sisinya.

Ia menatap Felix setelah mengepulkan asap rokoknya ke udara, menempatkan tangannya di lutut Felix yang duduk menyusulnya.

“Gue tanya lu ngapain disini?”. Felix balik menatapnya. “Lu sendiri ngapain?”

Netranya saling bertubrukan lagi, jejak darah di sudut bibir Felix seolah adalah jawaban akan tanya yang sempat ia layangkan. Ia juga bisa melihat luka lebam di lengan dan pelipis Felix.

Chu.

“Udah gue cium, cepet hilang ya sakit. Kasian yang ngerasain, dia manis banget soalnya”. Ia mengusap luka lebam di pelipis Felix sambil tersenyum.

Dalam jarak sedekat ini, dengan senyum yang mampu meluluhlantahkan hati dan perasaannya, dengan aroma tembakau kering yang seakan tak membantu kewarasannya, Felix balas mengusap sudut bibir pria yang lain.

“Lu juga habis dipukul ya?”

Ia tak menjawab, kembali menyesap batang berasap yang kini sudah mulai memendek.

Tatapan keduanya tertuju pada langit jingga yang mulai kembali ke peraduan. Mengintip kecil seraya menunggu sang malam membawa sejuta bintang menerangi penglihatan yang mulai minim cahaya. Langit masih baik-baik saja walau dia menghitam, toh besok dia akan berwarna lagi. Tapi hati manusia siapa yang tahu?

Felix menoleh kesamping, mencuri pandang pada side profile pria disisinya. Kepulan asapnya yang keluar disela bibir dan juga hidung lalu bersatu dengan gelapnya malam dan jahat angin yang membawanya pergi. Indah. Bukan asapnya.
Melainkan dia yang menciptakan.

“Boleh cium gue sekali lagi?”. Lirihnya. Membuat si pria lain ikut menoleh kearahnya.

“Jangan, nanti bibir lo sakit. Ini gue juga masih rada nyeri. Luka baru”. Ia kembali menghisap rokoknya. Felix menatapnya dengan penuh puja. Membayangkan, membayangkan bagaimana bibir itu merobek miliknya, bagaimana ia dibuat mabuk dengan aroma tembakau yang memenuhi indera kecap dan baunya.

Felix mengeluarkan sebuah plester dari saku celana lalu menempelkannya di sudut bibir pria itu dengan hati-hati dan mengecupnya disana. “Sakit, cepat pergi ya. Gue mau ciuman sama yang ngerasain elu. Jadi tolong cepetan pergi”.

Ia tertawa miring, tipis sekali hingga Felix tak sadar jika ia tengah tertawa. Ia membawa dua belah pipi Felix menghadapnya, mengecup puncak hidung lalu memeluknya erat.

“Sebagai gantinya peluk aja dulu, besok gue cium lo sampe mati”.

Felix tertawa senang lalu mengeratkan pelukannya. “Habis itu lo harus tahan napas satu jam ya, biar kita sama-sama mati”.

“Deal”.

::

Terlalu malam untuk anak berbaju putih abu-abu yang baru saja masuk ke gerbang rumah dengan seragam lengkap dan tas di bahu.
Sudah lewat dari pukul sepuluh dan ia masih menyebutnya baru pulang sekolah.

Ia menoleh ke belakang, disambut anggukan dari pria yang menatap sambil menyenderkan dirinya di tembok pagar.

PRANGGGGG!!

Felix mengepalkan tangannya saat baru saja ia akan menarik handle pintu.

BRENGSEK, ISTRI TIDAK BERGUNA. PE—

Uri Lixeu⚠ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang