1

7.2K 132 4
                                    

"Mbak, nikah, yuk!"

"Sinting!"

"Serius, deh. Aku bisa kok bahagiain, Mbak."

Dena hanya terdiam mendengar pernyataan brondong di sampingnya.

Iya. Brondong. Beberapa tahun lebih muda darinya. Yang sudah beberapa bulan mengejarnya tiada henti. 

Perasaan dirinya tidak cantik apalagi menarik. Kenapa tiba-tiba ada brondong nyasar menyatakan cinta padanya. Bahkan dengan enteng mengajaknya menikah.

Apa namanya kalau bukan sinting.

Ia pun terus berjalan menuju rumahnya yang tinggal beberapa puluh meter lagi. Dirinya baru saja pulang kerja. Untuk perjalanan sampai ke rumah seharusnya ia naik ojeg. Tapi karena ini akhir bulan, ia memilih jalan kaki. Irit. Toh, cuma beberapa puluh meter lagi.

Ia mencoba mengabaikan lelaki muda yang sejak tadi membuntutinya sejak turun dari angkot. Dikira nikah itu gampang. Ngajak nikah sudah seperti ngajak makan bakso.

"Gimana, Mbak. Mau, ya? Aku udah punya usaha kok meski masih kecil-kecilan. Kerja juga aku udah mapan. Please ... Mau ya?"

"Dasar sinting! Kayak nggak ada cewek lain aja. Kamu nggak laku, ya?" deliknya.

"Ya ... banyak sih yang mau. Tapi aku kan maunya sama, Mbak. Bukan yang lain. Gimana, dong." Lelaki muda itu terkekeh saat melihat wanita yang ia goda mulai keluar tanduknya. Jadi semakin terlihat cantik.

"Aku kan udah bersuami."

"Biarin."

"Astaga! Gimana lagi cara ngasih tahu kamu. Aku tuh udah bersuami." Dena memandang lekat lelaki muda dihadapannya.

"Karena aku tahu Mbak tidak pernah bahagia dengan pasangannya." Ia balas menatap lurus wanita mungil dihadapannya.

"Sotoy!"

"Aku hanya ingin bahagiain aja kok. Nggak lebih."

"Aku udah bahagia."

"Nggak usah bohong sama aku. Dari matamu terlihat segalanya, Mbak. Kamu tidak bahagia. Kamu kesepian." Sorot mata lelaki itu terlihat lembut, tepat menatap netranya. Sehingga membuat Dena jadi merinding.

Ia pun menghela napas lelah. Percuma berdebat dengan lelaki ini. Takkan pernah menang.

Dan lelaki muda ini memang selalu ada di saat ia membutuhkan. Seperti cenayang. Selalu tahu isi hatinya. Tanpa perlu bercerita. Pasti ia akan hadir dengan tiba-tiba. Menghiburnya dengan celotehan aneh.

Tapi tentu saja ia takkan membenarkan ucapannya. Nanti makin kepedean saja yang ada.

Ia pun melanjutkan kembali perjalanannya. Rumah tercinta sudah mulai terlihat.

"Pikirkan ya, Mbak. Aku selalu menunggumu." teriak lelaki muda itu. Ia terkekeh kembali, membuat Dena semakin kesal.

"Dasar brondong nggak laku!" umpatnya.

***

Diajak Nikah Brondong (Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang