2

4.4K 119 3
                                    


°°°°

"Kamu ke mana saja? Kok jam segini baru sampai?" tanya seorang lelaki tiga puluhan dengan wajah memerah.

"Pulang kerja aku langsung pulang kok, Mas. Cuma emang angkotnya agak ngetem lama. Penumpangnya belum penuh jadi nggak jalan-jalan. Terus dari depan aku jalan kaki untuk sampai ke rumah," jelasnya panjang lebar.

Sebenarnya di rumah ada motor satu tapi suaminya memang tidak pernah mau menjemput.

"Halaahh, banyak alasan. Udah buruan kamu masak. Aku lapar. Lelet banget."

"I-iya, Mas. Aku masak sebentar."

Dena menaruh barang belanjaan sayurnya di dapur. Sepulang kerja tanpa sempat beristirahat, ia langsung memasak. Menyiangi sayuran dan membersihkan ikan.

Sore ini ia akan memasak tumis jamur dan ikan mujaer. Butuh waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan semua masakannya. Setelah siap, ia merapikan dapur dan mencuci kembali semua peralatan masak.

"Udah selesai, Mas. Silakan makan. Aku mau mandi dulu."

"Hemm."

Beginilah kegiatannya sehari-hari. Benar kata si brondong. Ia memang tak bahagia. Tapi untuk mengakui ia juga malu. lagipula darimana lelaki muda itu tahu keadaan rumah tangganya. Padahal ia tak pernah cerita ke siapa pun.

Ia hanya bisa pendam semua luka itu sendiri. Semenjak dirinya bekerja, suaminya malah keluar dari kerjaan. Katanya bosen kerja terus.

"Waktu pacarankan aku yang suka jajanin. Sekarang gantian lah. Udah sukur juga ada yang mau sama kamu. Cantik juga enggak apalagi menarik," kata-kata suaminya begitu menusuk harga dirinya. Imbasnya kalimat itu membuatnya jadi tidak memiliki kepercayaan diri. Selalu merasa rendah diri.

Entahlah apa maksud perkataannya itu. Mengeluarkan kalimat yang begitu menusuk ulu hatinya.

***

"Mbak, cintaku masih belum diterima? Ayolah, kita nikah." Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuyarkan lamunan.

Dena mendiamkan ocehan si brondong. Malas menanggapi. Masalah hidupnya sudah rumit tak ingin memperpanjang.

Tadi ia ke warung membeli sabun yang habis. Tapi karena malas pulang cepat, ia pun mampir di taman perumahan yang sepi. Dan si brondong selalu saja muncul tiba-tiba.

"Mbak, kamu tuh cantik dan menarik kok. Jangan merasa rendah diri begitu."

Dena melirik pemuda di sampingnya. Merasa terkejut dengan pernyataannya. Beneran seperti cenayang bukan. Tanpa berbicara sudah tahu saja masalah peliknya.

"Kenapa? Bener ya perkataan saya. Kamu tuh berhak bahagia, Mbak." Lelaki itu tersenyum tulus memandang wanita di hadapannya.

"Kamu kenapa suka sama saya. Saya tidak cantik apalagi menarik. Kenapa kamu nggak cari yang lebih muda saja. Kok sukanya sama yang lebih tua." tanya Dena penasaran.

"Soalnya Mbak berbeda. Di usia yang semakin matang malah terlihat semakin cantik," jawabnya lugas dengan seringai khasnya.

Dena memandang ketulusan di sana. Benarkah seperti itu?

Pernikahannya diambang kejenuhan. Merasa muak dengan perlakuan suami yang selalu memandang rendah dirinya. Selain itu dirinya selalu dijadikan sapi perah. Semua beban hidup di embankan di pundaknya. Apalagi belum ada anak juga untuk melengkapi pernikahan mereka.

Apa ia terima saja cinta si berondong? Batinnya dalam dilema.

***

Diajak Nikah Brondong (Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang