5

3.4K 98 0
                                    


“Gimana? kira-kira bisa didapat uangnya?” tanya suaminya saat Dena bersiap akan berangkat kerja.

“Be-belum, Mas. Aku sudah chat ketua koperasi. Katanya kalau tanggal segini belum bisa keluar uangnya. Bisanya nanti akhir bulan. Sudah telat juga pengajuannya.”

“Terus gimana? Usahakanlah ada. Mintanya sih dia dua juta.”

“Astaga. Aku harus nyari uang ke mana dong, Mas. Mikirlah kamu sendiri.” Ketus Dena akhirnya. Kesal juga dirinya terus di desak.

“Gadein cincin nikah aja kalau gitu,” ujarnya enteng.

Dena hanya bisa menghela napas. Jika sudah berurusan dengan keluarganya, sang suami selalu keukeuh sendiri. Yang nggak adapun akan berusaha di adakan. Beda sekali dengan perlakuan ke keluarga dirinya. Ibu di kampung minta uang untuk berobat pun, selalu merasa enggan untuk memberi.

Selalu bilangnya tidak ada uang.

Cincin nikah baru sebulan lalu ia tebus setelah berbulan-bulan terus diperpanjang. Masa kini harus disekolahin lagi. Yang benar saja.

Untuk menebusnya saja ia butuh usaha lebih ekstra lagi. Di mana pikiran sang suami. Tak pernahkah ia ikut memikirkan keadaan keuangan rumah tangga. Ketika meminta sesuatu seperti tak pernah ada rasa bersalah atau malu sedikitpun.

Rasanya lama-lama ia menjadi lelah.

Haruskah ia akhiri saja? Tapi jika diakhiri, apakah ia siap dengan status baru yang disandangnya? Bagaimana respon keluarganya nanti? Apa kata orang terhadap dirinya?

Ia kira setelah menikah semua masalah akan mudah ditangani. Atau setidaknya bebannya akan menjadi sedikit ringan. Faktanya beban hidup semakin bertambah dan malah semakin runyam. Ataukah dirinya saja yang salah memilih pendamping?

***

“Mbak, mau tahu nggak kalau nikah sama saya ada garansinya, loh.” Seperti biasa lelaki muda itu, Angkasa, selalu muncul tiba-tiba. Dengan cengiran khasnya.

Tampilannya pagi ini memakai kaos berkerah warna hitam dengan jeans belel. Saat ini ia membawa motor matic. Tumben sekali. Biasanya jalan kaki.

Dena sedang menunggu angkot. Biasanya jam segini sudah mulai banyak yang lewat. Tapi kenapa saat ini malah belum ada satupun yang lewat. Sesekali ia menoleh dengan gelisah. Bisa-bisa ia telat ke kantor.

“Nggak penasaran garansinya apa, Mbak?”

Dena memutar bola mata dengan malas. “Apa?”

“Jaminannya kebahagiaan dan curahan kasih sayang seumur hidup,” jawabnya dengan senyum lebar.

“Rayuannya manis sekaligus maut," cibir Dena. Sungguh kepercayaannya terhadap lelaki sudah terkikis habis.

“Ini bukan rayuan, loh. Ini dari lubuk hati saya yang paling dalam. Ingin memberikan itu semua terhadap wanita cantik nan manis dihadapan saya.”

“Terserah.”

“Mau dianterin nggak? Saya bisa antar dalam waktu sepuluh menit.”

“Kamu kenapa selalu muncul tiba-tiba? Nguntitin saya terus ya?”

“Hahahaha. Mau banget di kuntitin, ya.”

Telak. Wajah Dena memerah mendengar pertanyaan itu. “Ngaku deh. Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba kalau memang bukan karena nguntitin?”

“Uhmm … feeling saya itu kuat loh kalau udah menyangkut wanita yang saya sayangi. Buktinya saya sekarang ada di sini. Mau mengantar Mbak cantik ini. Yukk!”

Dena mencoba sekali lagi celingukan mencari angkot yang lewat. Tapi tetap nihil. Merasa tak ada pilihan, akhirnya Dena pun menurut. Lumayanlah hemat ongkos di tanggal sekarat. “Baiklah.”

“Nah, gitu dong. Kalau lagi nurut gini kan jadi makin manis dan berlipat cantiknya.”

Dena hanya terdiam mendengar ocehan Angkasa. Biarkanlah sesekali ia memberikan kebahagiaan untuk orang lain. “Kamu nggak kerja? Sering banget kelihatan keluyurannya. Gitu sih mau ngajak nikah. Mau dikasih makan apa bininya.”

“Cieee, mulai perhatian. Mulai kepo mau tahu kerja apa. Jadi terharu, nih.”

“Ishh.” Dengan sedikit kesal Dena mencubit pinggang Angkasa. Lagi serius nanya, dijawab begitu terus.

“Awww, pedesnya ini cubitan.” Angkasa terkekeh saat melihat dari kaca spion, wanita yang membonceng dibelakangnya menekuk wajahnya. Ekspresinya lucu. Bikin gemas.

“Nggak usah banyak omong lagi deh. Kalau cuma bikin sebel.”

“Hahahaha. Ada yang ngambek.”

“Resek!”

Beberapa puluh detik mengenal Angkasa, ternyata lelaki muda ini orang yang menyenangkan. Apalagi saat dirinya mau membuka diri untuk menerima kehadiran orang lain dalam hidupnya.

Selama ini Dena memang selalu tertutup. Malas berteman dan membuka diri. Ia lebih senang menyendiri dalam keramaian.

Dan untuk pertama kalinya Dena mengeluarkan tawa yang lepas. Saat mendengar ocehan lucu Angkasa. Setelah sebelumnya tawa itu hilang sejak lama. Ada saja topic yang dibahas. Rasanya tak pernah habis tema saat mengobrol dengannya.

Sepertinya memang bukan ide yang buruk menerimanya sebagai ‘teman’.

***

Diajak Nikah Brondong (Buku Stok Ready)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang