Siang ini matahari begitu terik memancarkan sinarnya. Membuat Dena malas untuk keluar kantor saat jam istirahat. Tapi mau tak mau ia memang harus pergi.
Ia mengusap benda kuning polos yang melingkar di jari kiri manisnya. Benda yang jarang sekali berada di tempat seharusnya. Baru juga merasakan sebentar melingkar di jarinya, si benda kuning ini sudah harus disekolahkan kembali.
Tak ada pilihan.
Jika tak dituruti, suaminya akan terus meneror. Lebih parah akan mendiamkan dan ketus terhadapnya. Malas juga jika harus ditanggapi. Pulang kerja capek malah di kasih wajah muram. Rasanya bikin makin penat jiwa dan raga.
Dena jadi berpikir. Seandainya ada anak, mungkin tak akan sekesepian ini rumah tangganya.
Ada pelipur lara disaat resah, disaat lelah, disaat merasa dunia tak membutuhkan dirinya.
Namun harapan tinggal harapan. Keinginan yang satu itu, entah kapan terealisasi. Ia pun sudah tak berharap banyak.
Dirinya sudah tahu watak sang suami yang luar biasa pemalas dalam segala hal. Termasuk untuk yang satu itu. Jadi ia sudah tak terlalu berharap banyak.
Mungkin belum dipercaya juga. Entahlah. Ia masih selalu berharap suatu ketika diberi kesempatan menjadi wanita seutuhnya.
Usianya kini sudah hampir memasuki kepala tiga. Keinginan itu pun sudah semakin sempit dan terasa mustahil.
Bahkan pernikahannya sudah hampir sewindu, tapi hingga kini tangisan dan canda tawa anak itu masih belum jua terdengar. Ia takkan menyalahkan Tuhan atau siapapun. Karena memang pasangannya yang kurang berusaha.
Kadang yang membuat Dena heran, emosinya dalam menghadapi apapun entah mengapa suka berlebihan. Apalagi ketika suaminya sudah menabuh genderang perang, maka titik terendah keinginan hidupnya akan menurun drastis hingga tersisa tinggal 10%. Rasanya sudah tak ada guna untuk hidup lagi.
Setelah itu ia akan merasa di dunia ini sudah tidak ada yang menginginkannya, tak peduli lagi padanya. Hingga keinginan aneh itu pun muncul.
Hasrat keinginan untuk meninggalkan dunia ini kadang mengganggu pikirannya. Untunglah pikiran waras selalu datang disaat yang tepat. Jika bukan karena takut bila nanti arwahnya akan luntang-lantung di dua alam, mungkin sudah lama ia menuruti keinginannya.
"Maaf, ya. Kamu harus disekolahkan lagi. Doakan saja rezekiku lancar. Agar aku bisa segera menebusmu dengan segera. Muaaachh,"monolognya.
Dena mulai menjalankan roda duanya, ikut meramaikan jalan raya.
***
Ting
Dena yang sedang bermalasan di karpet kesayangannya, sedikit terlonjak saat mendengar bunyi notif WA. Ia baru saja tiba di rumah beberapa menit yang lalu. Tumben pula Angkasa tidak nongol.
Saat melihat isi chat tersebut, ia jadi tersenyum. Baru saja bertanya, orangnya langsung chat.
[ Hai, Mbak cantik lagi apa? Kangen aku nggak? ]
Dena tersenyum simpul saat membaca chat tersebut. Dengan segera ia mengetik balasan.
[ Baru nyampe rumah. Kamu ke mana tadi? Tumben nggak nongol. ]
[ Ciee nyariin. Kangen yaa. ]
[ Iya kangen. ]
[ Uhukk. Ada yang terus terang. ]
[ Biar kamu geer sekalian. Weekk. ]
[ Saya akan bikin kangen kamu itu jadi beneran. Lihat aja. ]
"Na, gimana uangnya? Udah ditanyain terus nih," tanya seseorang tiba-tiba.
Dena mengalihkan perhatiannya, lalu menatap sang suami. "Udah ada Mas. Tapi kira-kira kapan dia bisa balikin?"
"Masa nanti nanya begitu. Ga enaklah. Kesannya kita hitungan banget."
"Bukan masalah hitungannya. Apa salahnya cuma nanya untuk penegasan. Kan ini juga harus diperpanjang setelah tiga bulan. Lalu siapa yang akan bayar perpanjangannya."
"Ya, kamulah. Siapalagi."
"Masa aku. Nikmatin juga enggak duitnya. Malah aku yang pusing nyari bayarannya. Lagian adikmu cuma bisanya merepotkan. Padahal gaji dia lebih tinggi, kenapa juga harus pinjem sama kamu yang pengangguran. Otaknya di mana coba," sengit Dena.
Wajah suaminya nampak mulai memerah, tapi Dena abaikan.
Terkadang pertengkaran akibat keluarga sang suami memang sering terjadi. Dan Dena selama ini memilih diam. Sesekali ia ingin mengeluarkan isi hatinya.
Plakk!!
Tamparan itu membuat wajah Dena berpaling hingga ke samping. Perih dan berdengung. Bukan hanya fisik, batinnya lebih berdarah melebihi tamparan ini.
"Jangan sekali-kali kamu mengatakan hal itu. Apalagi menyudutkan adikku. Sekali lagi kamu lakukan itu, habis kamu!"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, lelaki itu mengambil tas Dena yang tergeletak di lantai. Membuka resletingnya dan menaburkan isinya.
Setelah menemukan dompet, ia segera mengeluarkan isinya. Lelaki itu tampak menyeringai puas. Tanpa kata, Dena ditinggalkan.
BRUGH!
Suara bantingan pintu memekakkan telinga. Dena hanya mampu tergugu dalam kesendiriannya.
"Tega sekali kamu, Mas. Hiks ..."
Rasanya ia sudah tak berguna lagi untuk hidup. Pikiran-pikiran itu mulai menghantuinya.
Haruskah ia akhiri saja semua derita ... Cukup sampai di sini.
***
Cupcup
Ada yang mau peluk Dena?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diajak Nikah Brondong (Buku Stok Ready)
RomancePermasalahan yang mendera rumah tangganya membuat Dena menjadi sosok yang tertutup. memendam semua kecewa seorang diri. Tulang rusuk yang menjadi tulang punggung? Siapa yang takkan lelah? Hingga seorang lelaki muda menawarkan komitmen, kebahagian, c...