Kadang tindakan sederhana dilandasi alasan sederhana juga.
.
"Aku heran, kenapa kamu sama sekali nggak merasa keberatan kayak begini terus?"
Begitu turun dari motor, pertanyaan itu tahu-tahu meluncur begitu saja dari mulut tanpa rem hingga aku sendiri merasa terkejut. Refleks aku langsung memandang ke arah pengendara motor yang tadi baru saja mengantarku pulang untuk melihat reaksinya. Kalau diperhatikan baik-baik, air muka sosok laki-laki di depanku tak berubah sama sekali.
"Saya ngelakuin ini biar kamu selamat sampai tujuan." Lelaki itu menjedanya sejenak. "Buat tanda makasih juga."
"Makasih atas dasar apa?" tanyaku kali ini penasaran.
Januar Bagaskara—terlihat dari name tag yang tersemat di seragamnya yang tertutupi jaket—yang sejak tadi menjadi lawan bicara itu tampak berpikir lagi. "Kamu nolongin saya ngerjain matematika waktu itu."
"Cuma itu?"
"Emang mau apa lagi?"
Aku masih menatapnya sangsi, namun segera kusudahi lantaran sebenarnya juga tidak terlalu penting. Embusan napas perlahan terdengar dari dalam diriku barang sejenak. "Ya sudah, makasih ya, buat tumpangannya. Buat kedepannya kayaknya nggak usah jemput aku lagi deh."
"Kenapa? Nggak suka, ya, saya antar jemput begini?" tanya Januar—entah bagaimana cara aku memanggilnya—tiba-tiba.
Sekarang jadi aku yang mendadak seperti kehabisan kata akibat pertanyaan tiba-tiba Januar. Padahal jelas maksudku tidak seperti itu, pun sejatinya kami tidak terlalu akrab. Perkara matematika yang disebutkan lelaki tadi hanya perkara sepele, tentang ia yang mendapat hukuman mengerjakan matematika di luar kelas dan aku mendapatinya dari balik jendela yang kubuka sedikit. Menghasilkan aku mengajarinya pelan-pelan dari jendela yang sedikit terbuka dan dia yang mencoba memahami pelan-pelan tiap soal sembari menyimak ucapanku.
Benar-benar sepele 'kan?
"Bu-bukan gitu," ujarku setelah berpikir sejenak. "Aku nggak enak kalau menumpang terus sama kamu. Meski rumah kamu sama aku searah, rasanya itu ngerepotin kamu banget."
Kulihat Januar mulai mengangguk paham, lalu berkata, "Nggak apa-apa kok. Saya juga nggak keberatan, anggap aja kita lagi bersimbiosis."
Sekarang refleks alisku terangkat. "Simbiosis?"
Januar kembali mengangguk. "Iya. Saya boleh minta tolong ajarin mata pelajaran sama kamu, dan kamu boleh minta tolong antar ke mana saja sama saya."
"Kenapa tiba-tiba?"
"Daripada terlambat?"
Ah, benar juga sih.
Akhirnya aku kembali berpamitan pada Januar dengan kikuk, laki-laki itu juga hanya mengangguk pelan dan mulai menyalakan lagi mesin motornya yang sejak tadi mati. Baru saja tanganku berhasil meraih slot pintu pagar, suara lelaki itu kembali menginterupsi pergerakanku.
"Faiza."
Perlahan aku menoleh, "Ya?"
"Kita belum resmi kenalan."
Perlu beberapa detik untuk membuatku memastikan ucapannya. "O-oh? Oke."
Kulihat ia mulai turun dari motornya dan baru kusadari bahwa tubuhnya benar-benar jangkung kalau disandingkan denganku. Badannya yang besar juga sukses membuatku agak terintimidasi. Namun ketika aku mengamati mata kecilnya yang mulai menyipit seperti bulan sabit dan tersenyum, membuatku merasa lega.
Apalagi ketika tangan kokohnya mulai terulur ke arahku, seolah memberi kode bahwa ia bukan orang yang bisa dilihat dari penampilannya semata.
"Saya Januar Bagaskara," ucapnya pasti. "Kelas sebelas IPA 3."
Aku mengangguk pelan setelah menatapnya, lalu membalas uluran tangannya. "Aku Faiza Alya Adnan, sebelas IPA 2."
Tampak Januar tersenyum lagi padaku. "Mulai hari ini, kita bersimbiosis ya."
Seketika aku mengenyit penasaran. "Simbiosis jenis apa?"
Januar tertawa kecil mendengar ucapanku. "Yang jelas bukan parasitisme."
-cut-
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis
Poetry[TAMAT] Bagi Faiza Alya Adnan, sebetulnya ini bukan perjanjian di atas kertas putih bersama Januar Bagaskara. Tidak tahu siapa yang merugi dan siapa yang beruntung, tergantung perspektif mana yang dilihat dan diyakini. Kalau ada kesalahan perspektif...