[3] Januar dan Simbiosisnya

788 188 7
                                    

Pilih yang mana, yang menguntungkan, netral, atau merugikan?

.

"Alya, ada yang nyariin nih!"

Aku menoleh sebentar saat otakku sedang sibuk-sibuk berpikir tentang materi kalkulus, lantas mendapati Alena—teman semejaku—tersenyum seraya menunjuk sesuatu ke arah luar. Hari ini ada jam kosong, sehingga murid di kelas ini sibuk pada dunianya sendiri. Kembali ke Alena, senyum gadis itu seperti meledek, membuatku yang agak gusar terpaksa bangkit dari duduk sambil menggerutu.

"Siapa sih, Len―"

Kemudian ucapanku terpaksa berhenti kala melihat siapa yang dimaksud Alena, sesosok pemuda berdiri membelakangiku tepat di depan kelas. Alena yang masih memasang senyum menggoda hanya menepuk bahuku pelan sebelum berlalu.

―baiklah.

"Januar?"

Kulihat sosok itu langsung berbalik dan memandangiku, lantas berjalan mendekatiku. "Maaf, saya ganggu kamu."

Buru-buru aku menggeleng. Sungguh, mendengar ucapannya membuatku merasa tak enak. Biar bagaimanapun, aku sedang belajar terbiasa untuk pendeklarasiannya kemarin dan terbiasa untuk melihat eksistensinya lebih sering dari biasanya. Meski kami tidak akrab, aku sejujurnya beberapa kali sering menjumpainya di pertandingan bola basket sekolah. Aku tidak tahu, apakah dia baru menyadari keberadaanku atau tidak.

"Kamu biasanya dipanggil Alya ya, bukan Faiza?"

"Heh?"

Bodoh. Harusnya aku menjawabnya dengan benar, bukannya 'heh' yang keluar. Mendadak aku merasa malu sendiri rasanya. "Eh, iya sih. Kenapa?"

Laki-laki itu cuma mengangguk pelan, lalu berkata, "Saya boleh panggil kamu Alya?"

Lantas aku jadi bingung sendiri kala Januar menanyakan hal yang seharusnya tak perlu ditanyakan, refleks aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Aku rasa kecanggungan ini belum bisa berakhir baik. "Ya, terserah sih, senyaman kamu aja."

"Kamu juga bisa kok, panggil saya Janu," ucap Januar, sukses membuatku melongo. "Biar nggak terlalu panjang. Soalnya saya jarang dengar kamu panggil nama saya, kayaknya nama saya terlalu susah buat dipanggil."

Aku mendapati diriku tertawa kecil setelah mendengar penuturan singkatnya. Aku tak menyangka kalau ia adalah seorang pengamat yang baik, jadi kemudian aku hanya mengangguk. "Oke, Janu."

Tampak Janu terdiam seraya menatapku, tepat setelah aku mencoba memanggil namanya. Apa aku salah panggil?

Namun kemudian Janu mulai mengendalikan ekspresinya dan mengulas senyum ke arahku. Dirogoh saku jaket biru yang dikenakannya, lalu menyodorkan sesuatu ke arahku. "Ini, buat kamu. Simbiosis dari tadi pagi yang udah sempat-sempatnya ngajarin saya biologi."

Kemudian aku baru mengingat itu, tentang ia yang meminta bantuan saat menjemputku tadi pagi untuk mengajar kilat materi biologi karena ia ada ulangan di jam pertama. Membuatku segera mengangguk paham sambil memandangi sekotak susu cokelat yang ia berikan. "Itu bukan apa-apa. Kamu nggak perlu repot-repot begini."

"Ini nggak seberapa kok. Tolong terima, ya," sahut Janu agak memohon. "Jangan lupa diminum."

Akhirnya tanganku terulur untuk menerima pemberiannya dengan sejuta rasa tak enak dan pertanyaan. "Kamu kayaknya terlalu baik deh, kalau begini. Aku nggak enak," kataku pelan sambil memandangnya.

Kulihat Janu juga tampak refleks menggaruk tengkuknya sambil melirik sebentar ke arah lain, lalu berucap, "Itu semua bukan apa-apa, makanya saya ajak kamu bersimbiosis. Membalas kebaikan dengan kebaikan, jadi saling menguntungkan."

Simbiosis mutualisme, simbiosis yang ia jabarkan saat ini. Segera aku mengangguk paham. "Aku harap, aku nggak begitu merepotkan buat kamu."

Pun sekarang Janu tertawa kecil mendengar ucapanku dan bilang, "Saya malah berharap kita bisa terus bersimbiosis kayak gini."

-cut-

SimbiosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang