[6] Dinding Terbentang

642 167 3
                                    

Demi membatasi rasa berharap, lebih baik ditangani segera.

.

"Janu..., kayaknya kita nggak usah begini lagi deh."

Itu adalah kata Faiza yang terlontar ketika Januar menghubunginya untuk menanyakan perihal mata pelajaran—yang sebenarnya hanyalah alibi. Kalimat itu begitu terasa mengganjal di telinga Januar, sukses membuat pemuda itu kepikiran.

"Kenapa?" tanya Januar dengan nada berusaha setenang mungkin.

Iya, karena Januar tahu percikan rasa panik melonjak ke mana-mana dalam dirinya sekarang. Seribu tanya juga tebakan sibuk mewarnai pikiran si pemuda, pun menanti betul jawaban milik Faiza sebenarnya. Pernyataan itu pasti ada alasan dibaliknya dan Januar tak bisa menebak itu.

"Hm...." Faiza terdengar menggumam pelan. "Aku serius nggak enak kalau terus begini. Padahal aku cuma sedikit berbuat baik sama kamu, tapi kamu balasnya dengan sepuluh kali dari aku. Juga, teman-teman kayaknya udah melihat kita dengan cara yang lain. Aku takut ada banyak gosip aneh-aneh tentang kamu gara-gara aku."

Secepat kilat Januar berujar, "Kalau cuma itu," Pemuda itu menjedanya sebentar. "Sebenarnya cuma perkara kecil yang nggak perlu dicemaskan. Kamu sebenarnya nggak perlu dengarkan mereka kalau mereka ngomong aneh-aneh tentang kita. Saya juga nggak terlalu peduli tentang itu."

Serius, Januar memang bersungguh-sungguh atas jawabannya. Ia memang tidak terlalu peduli akan semua itu, ia lebih peduli dengan kenyataan bahwa ia bisa dekat dengan si gadis dan mengenalnya lebih jauh tentangnya. Makanya, Januar benar-benar panik saat merasa ada sebuah dinding baru diantara mereka.

"Oke," sahut Faiza di seberang. "Kalau gitu, gimana kalau kita kurangin intensitas kita? Aku akan tetap ngajak kamu belajar bareng sama aku, tapi kamu nggak perlu sampai antar-jemput aku."

"Terus, aku harus balas kebaikan kamu kayak gimana, Al?" tanya Januar tanpa sadar dengan nada kelewat menggebu. "Kalau gitu, namanya bukan simbiosis mutualisme lagi. Saya yang malah jadi benalu buat kamu."

"Tapi, seenggaknya itu lebih baik 'kan?" balas Faiza pelan. "Kamu bisa balas kebaikan aku pakai cara lain..., semisal bantuin aku saat ada hal lain terjadi."

"Terus, saya harus doain kamu ada masalah, begitu?" ungkap Januar.

Hening.

Januar memejamkan matanya sejenak. Sejak tadi nada menggebunya tidak mereda membuat lelaki itu sedikit menyesal, ia takut Faiza berpikir tidak-tidak kalau seperti ini. Apa ia sekarang bicaranya keterlaluan?

"Ya, bukan gitu," gumam Faiza pelan. "Kamu memangnya nggak peduli seberapa merepotkannya aku?"

Tanpa aba-aba, pemuda itu berujar, "Nggak sama sekali."

Kembali hening diantara mereka berdua.

"Januar...," panggil Faiza pelan, kontan membuat telinga lelaki itu menegak. "Sebenarnya, aku merasa ini adalah sebuah kesalahan yang seharusnya nggak aku lakuin."

Seketika pemuda itu terdiam setelah mendengar sahutan Faiza yang mengejutkan. Kesalahan apa? Di bagian mana yang menjadi kesalahan? Apa sebenarnya Januar yang melakukan kesalahan pada gadis itu sehingga Faiza berbicara begitu?

"Maksud kamu?" tanya Januar pelan.

Terdengar embusan napas panjang milik Faiza dari seberang. "Aku udah nganggap kalau simbiosis ini lama-lama menjadi sedikit berlebihan, dan aku merasa kalau pandanganku dari perjanjian menguntungkan ini nggak lagi sama. Ini adalah kesalahanku, aku takut sedikit—berharap sama suatu hal yang menurutku nggak mungkin. Jadi, cukup, Janu. Tolong."

Kemudian sambungan itu terputus secara sepihak, yang kontan membuat Januar kembali termenung. Apa ini adalah kesalahan perspektifnya yang seharusnya tidak melibatkan Faiza? Apa yang harus ia lakukan?

-cut-

SimbiosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang