Menyesal memang selalu terjadi belakangan.
.
Januar Bagaskara memang bodoh, atau lama-lama jadi bodoh, ya?
Begini, belakangan pemuda itu merasa ia jadi lebih sering lupa. Tadi pagi lelaki itu tak sengaja melupakan sarapan paginya, menjadikan Bunda sempat berseru kala Januar bersiap pergi dengan motor matiknya. Pantas saja Januar merasa Bunda tadi pagi terdengar seperti marah-marah, pasti ini alasannya.
Terlebih hari ini tim basketnya sedang mengadakan latihan di waktu istirahat pertama, sehingga mau tak mau Januar harus menahan betul rasa laparnya lantaran tak sempat membeli pengganjal perut. Pada babak pertama, ia masih baik-baik saja dan perutnya masih tahan dari rasa perih. Namun begitu memasuki babak kedua, pandangannya mulai kabur dan perlahan menggelap saat tangannya hendak meraih bola basket yang mengarah kepadanya.
"Janu?"
Januar perlahan mulai membuka kelopak matanya dan menyesuaikan cahaya yang mulai mendesak masuk pada netra hitamnya, kala ia mendapati suara samar seseorang yang amat ia kenali. Lelaki itu mengamati sebentar langit-langit ruangan berwarna putih. Oh, rupanya pemuda itu sadar bahwa ia sudah berpindah lokasi. Kepalanya yang masih terasa pening refleks menoleh ke sumber suara, mendapati sosok gadis yang sejak awal selalu menjadi topik yang menarik di pikirannya.
"Alya," gumam Januar pelan. "Kamu... di sini?"
Tampak gadis itu mengembuskan napas kesal saat Januar sudah mulai memfokuskan atensi padanya. "Kamu memang belum sarapan 'kan tadi pagi? Kenapa menolak waktu Ibu tawarin ajakan sarapan bareng? Kalau sudah begini, tahu rasa 'kan."
Januar hanya bisa menarik sedikit sudut bibirnya ke atas sembari menatap Faiza yang marah-marah akibat sudah kepalang khawatir bukan main. Gadis itu sepertinya sangat uring-uringan saat tahu apa yang terjadi, membuat Janu agak merasa bersalah.
Kemudian Faiza menoleh ke sampingnya dan meraih sekotak bekal, lantas memberikannya pada pemuda di depannya yang masih berbaring. "Ayo, bangun. Ibu titip ini tadi pagi gara-gara kamu nggak mau sarapan. Kata ibu, beliau sudah punya firasat nggak enak begitu lihat air mukamu yang memucat tadi. Ternyata benar."
Januar menuruti perintah Faiza sambil terkekeh pelan, lalu menerima kotak bekal yang disodorkan si gadis. "Makasih. Ibu kamu perhatian sama saya, kayak ke anak menantu."
Seketika alis Faiza terangkat. "Hah?"
"Nggak," kilah Januar sambil tersenyum jahil dan mulai memakan bekalnya, lalu ia teringat sesuatu membuat si pemuda segera mengalihkan atensinya lagi pada gadis di hadapannya. "Kamu nggak masuk kelas?"
Faiza menggeleng pelan. "Sekarang lagi jam kosong, aku nggak bisa di kelas kalau lihat kamu begini. Bawaannya khawatir terus."
Sekarang rasa penasaran dalam diri Januar mulai menggelitik, jadi ia berniat iseng. "Kenapa khawatir?"
"Aku takut nggak bisa memenuhi janji simbiosis kita."
Ah, terbesit sedikit rasa kecewa dalam diri Januar kala mendengar ujaran Faiza. Januar memandang gadis itu sebentar, lalu beralih menatap kotak bekalnya. Perjanjian simbiosis itu memang ia pencetusnya, namun rasanya pemuda itu menyesali keputusannya agar sebagai jalan untuk mengenal gadis berlabel Faiza lebih jauh. Januar merasa perspektifnya dalam simbiosis ini semakin bergeser.
Atensi yang Faiza berikan sekarang, justru semakin membuat perspektif yang Januar yakini tentang simbiosis tak lagi sama. Kalau pemuda itu mengubah perspektif simbiosis yang ia lakukan saat ini, apakah nantinya akan baik-baik saja?
Faiza Alya Adnan, kira-kira boleh tidak seorang Januar Bagaskara menyukaimu?
-cut-
KAMU SEDANG MEMBACA
Simbiosis
Poetry[TAMAT] Bagi Faiza Alya Adnan, sebetulnya ini bukan perjanjian di atas kertas putih bersama Januar Bagaskara. Tidak tahu siapa yang merugi dan siapa yang beruntung, tergantung perspektif mana yang dilihat dan diyakini. Kalau ada kesalahan perspektif...