[5] Seribu Tanya

671 168 4
                                    

Wajar 'kan jika semuanya jadi pertanyaan akibat penasaran?

.

Seharusnya dari awal aku sadar, bahwa perjanjian simbiosis ini adalah kesalahan.

Januar adalah anggota tim basket yang terkenal di sekolah, pengagumnya jelas tidak sedikit, tentu didambakan oleh semua orang. Biar bagaimanapun, aku yang hanya siswi biasa ini harus tahu diri. Satu-satunya jalan yang terbuka lebar untukku adalah; balik kanan, lalu mundur seribu langkah sampai tidak terlihat sama sekali.

Seperti hari ini, ketika aku menghadiri pertandingan basket antar sekolah dan menonton aksi pemuda itu, tak sedikit kaum hawa berteriak histeris setiap Januar beraksi. Aku berani bertaruh, separuh dari bangku penonton berteriak tak karuan melihat Januar bahkan ketika laki-laki itu diam saja. Sebenarnya lelaki itu tidak pernah macam-macam di lapangan—maksudku seperti sok menggodai penonton atau apa—tetapi hebohnya teriakan penonton, sukses membuat telingaku sakit bukan main.

Hari ini aku berniat pulang sendiri, karena tadi kulihat Januar sibuk dikerubungi gadis begitu selesai bertanding. Wajahnya memang tetap datar saat itu, entah memang begitu perangainya pada gadis-gadis atau bagaimana. Aku tak peduli, aku lebih peduli sisa uangku untuk ongkos pulang dengan angkutan umum.

"Alya!"

Oh, panggilan itu seketika mengiterupsi langkahku, membuatku dengan cepat berbalik. Kudapati Januar datang menghampiriku, kali ini sudah memakai seragamnya lagi dan memakai jaket denimnya. Membuatku berpikir, secepat apa ia mengganti pakaiannya?

"Kamu sudah selesai ganti bajunya? Nggak mau ngobrol sebentar sama temanmu dulu?" tanyaku heran.

Kulihat Januar menggeleng sembari mengulas senyum, lengkap dengan bulan sabitnya. "Nggak. Saya udah sering ketemu mereka. Buat apa? Mendingan cepat pulang 'kan?" ujarnya. "Kamu tunggu di sini. Saya mau ambil motornya dulu."

Begitu kulihat punggung pemuda itu semakin menjauh, pertanyaan lain dalam benakku muncul kembali. Mengapa Januar sebaik ini padaku? Bila ia berdalih dengan mengungkit kebaikan yang kulakukan saat awal bertemu dengannya, lantas bagaimana dengan apa yang ia lakukan selama ini untukku? Aku selalu merasa merepotkannya, namun Januar tidak keberatan sama sekali. Bukankah jika seperti ini, rasanya makna simbiosis mutualisme yang dijabarkan pemuda itu kini sedikit bergeser menuju parasitisme? Iya, dengan aku ibaratnya sebagai benalu yang menempel pada Januar.

"Alya? Kamu mikirin apa?"

Tahu-tahu Januar sudah berada di hadapanku lengkap dengan motornya, seraya menyerahkan helm padaku yang segera kuterima dan berujar pelan. "Nggak apa-apa kok."

Januar tampak masih memandangi meski aku sudah mulai duduk di jok motornya, lalu tanpa kata ia menjalankan motornya.

"Maaf ya, kamu pasti lama nunggu saya."

Terdengar suara Januar yang sedang berbicara, refleks kurapatkan posisi duduk agar dapat mendengar suaranya. "Nggak kok, aku tadinya mau pulang sendiri."

Dapat kulihat Januar melirikku melalui kaca spionnya diiringi senyum. "Jangan pulang sendiri."

Bersamaan itu, tercium aroma parfum milik Januar yang menguar membuatku sadar kalau posisi dudukku terlalu dekat. Pun jantungku mendadak berdebar-debar tak karuan tepat setelah pemuda itu menyahut begitu. Apa yang salah sekarang dalam diriku?

"K-kenapa?"

Tepat, ketika motornya sampai di rambu lalu lintas dengan tanda merah, lelaki itu menoleh ke arahku sambil tersenyum simpul. "Kamu punya saya buat antar kamu ke mana saja, bahkan ke rumah kamu untuk pulang."

Debaran jantung dalam diriku semakin berdentum tak wajar saat manik mata kami bersirobok diiringi senyuman manisnya. Tolong katakan padaku, aku baik-baik saja 'kan?

-cut-

SimbiosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang