[7] Pengakuan Terakhir

1K 189 23
                                    

Satu-satunya pilihan yang bisa kamu pilih, pengakuan.

.

"Alya, ada Janu di luar. Tolong disuruh masuk."

Segera aku menolehkan kepala diiringi mata yang membulat ketika mendengar perintah Ibu tadi. Ini hari Minggu, seharusnya Januar tidak ke sini. Lagipula, aku sudah menyuruhnya untuk berhenti melakukan hal itu lantaran aku takut berharap. Iya, ini kesalahanku. Kesalahan perspektif tentang simbiosis yang terjadi selama ini diantara kami.

Kala aku menghampirinya keluar, kudapati tubuh tegapnya berdiri membelakangiku. Kebiasaannya jika ia sedang menungguku, membuatku kontan menelan ludah karena gugup. Aku tahu aku salah, tapi ini adalah antisipasi yang bisa kulakukan agar Januar tidak terlibat dalam keadaanku yang begini.

"Janu?"

Tampak pemuda itu menoleh dan memandangiku. "Alya."

"Ayo, masuk dulu," ajakku.

"Nggak," tolaknya pelan. "Saya mau ketemu kamu."

Pernyataan mengejutkan, sukses membuat netraku membelalak kala mendengarnya. Januar tampak begitu tenang, juga gelisah secara bersamaan. Sesekali ia tampak menggigit bawah bibirnya, seolah sedang berpikir tentang apa yang ingin dikatakan.

"Janu...?" panggilku pelan memecahkan keheningan kami.

Pemuda itu mulai memandangku kemudian berkata, "Saya minta maaf."

Bukan begini. Seharusnya aku yang minta maaf padanya, bukan dia!

Janu menunduk sebentar. "Ini salah saya, apa yang kamu bilang waktu itu benar. Simbiosis ini adalah kesalahan, tapi bukan salah kamu. Ini salah saya."

"Kenapa gitu?" tanyaku. "Memang benar kok, aku yang salah gara-gara cara pandangku."

Iya, akibatnya aku tak lagi bisa memandangnya dengan cara yang sama, lantaran setiap melihatnya membuat jantungku bekerja seribu kali lebih cepat dari biasanya. Makanya malam itu aku berbicara padanya dan memutuskan sepihak. Aku tahu, tempo itu setelah melakukannya hatiku jauh lebih hampa dari sebelumnya.

Padahal biasanya, aku baik-baik saja tanpa dia.

"Tapi, saya yang dari awal anggap simbiosis ini adalah jalan buat saya kenal kamu."

Sekarang mendadak aku terdiam mendengar penuturannya. Butuh waktu untuk mencerna apa yang ia katakan. Kupandangi Januar yang masih betah memandangiku dengan raut wajah penyesalan.

Ia memejamkan mata sebentar. "Iya, awalnya saya anggap ini simbiosis biar saya bisa kenal kamu, tapi ini malah bikin perasaan saya makin nggak karuan," ungkapnya. "Kalau ternyata ini yang bikin kamu mulai jauh dari saya, saya nggak mau."

"Kenapa?"

"Saya suka kamu."

Tepat setelah Januar berkata begitu, yang kudengar sekarang adalah deru jantungku berdentum keras-keras. Tubuhku membeku di tempat akibat pernyataan mengejutkannya. Kulihat Januar menatapku sendu, sukses juga membuat pipiku semakin memerah.

"Kamu nggak perlu mikirin ucapan saya," sahutnya kemudian. "Saya nggak bisa ngelibatin kamu dalam perasaan nggak berdasar ini, jadi―"

"―kalau aku setuju terlibat perasaan kamu, gimana?"

"Hah?"

Januar tampak kaget bukan main, lantaran mendapati diriku yang tiba-tiba menukas dengan kalimat spontanitas. Kemudian ia tertawa kecil sebentar sebelum mengulurkan tangannya.

"Kamu yakin? Soalnya perasaan saya nggak main-main," ungkapnya. "Simbiosis yang sekarang nggak boleh ada penolakan di tengah jalan."

Hari itu, Minggu pagi rasanya langit lebih cerah dari biasanya seolah matahari dan awan ikut menyambut senang atas simbiosis baru diantara kami.

Aku tersenyum, lantas membalas uluran tangannya. "Oke."

"Saya nggak bisa menjanjikan apa-apa sama kamu, kecuali hati saya."

"Aku juga nggak punya apa-apa."

Tampak Januar menggeleng mendengar ucapanku. "Kamu nggak perlu mikirin itu, tugas saya adalah jaga kamu dan saya harap kamu bisa lebih bahagia bareng saya."

-fin.

p.s. terima kasih sudah membaca ini sampai akhir! semoga kita bisa bertemu lagi di work selanjutnya dengan perkembangan menulis yang lebih baik lagi! ^^

SimbiosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang