"Selama apapun cinta pergi, jika yang di hatiku masih saja kau? Bagaimana bisa aku menjatuhkan hati lagi pada orang lain. "
Suara gitar terdengar begitu sumbang saat tanganku berhasil memetik senarnya. Memang benar aku sama sekali tidak pandai memainkannya, padahal benda itu sudah cukup lama berada di kamarku, diam dan tak tersentuh. Entah kenapa hari ini aku ingin sekali menyentuhnya walau hanya sekedar menaruhnya di pangkuanku dan berharap suatu saat nanti aku bisa memainkannya dengan baik.
Setelah merasa cukup bermain-main dengan gitar itu, aku meletakkannya kembali di sudut kamar dengan hati-hati. Kuraih tasku dari atas tempat tidur lalu segera bergegas menuju tempat kerja, aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari apartemenku. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana, aku hanya perlu berjalan kaki selama lima belas menit dan akan sampai tepat waktu.
Sebelum masuk ke dalam toko, aku segera merapikan pakaianku dengan tangan yang bebas berharap agar sisa-sia debu yang menempel benar-benar sudah hilang. Saat ingin mengisi daftar hadir tiba-tiba pulpen yang kupegang ditarik oleh seseorang, saat menoleh aku hanya menghela nafas sebab itu sudah biasa terjadi. Seseorang yang kumaksud adalah Sebastian Enriquel, anak dari pemilik toko roti tempatku bekerja.
Pria yang kerap kusapa Sebastian itu tersenyum sembari menggenggam tanganku. "Aku mau bicara!"
Belum sempat aku menjawab, Sebastian sudah menyeretku keluar dari toko dan membawaku ke dalam mobilnya. Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan jika Sebastian membawaku pergi, itu akan menjadi alasan yang nantinya akan kuberikan saat maneger toko meminta penjelasan atas ketidakhadiranku di toko pagi ini. Siapa yang akan berani memarahiku saat Sebastian selalu ada di belakangku untuk membela dan membenarkan semua alasanku, aku memang sangat beruntung memiliki pria itu.
Kami tiba di sebuah restoran, Sebastian turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" ucapku seraya merapikan rambutku.
Aku bisa melihat matanya yang penuh dengan cerita, pasti Sebastian punya masalah baru lagi dalam hidupnya.
Kuputar bola mataku lalu turun dari mobil. "Seharusnya, kau tidak perlu menculikku seperti ini."
Sebastian merangkulku menuju meja yang berada di bawa kanopi, entah kenapa Sebastian tidak terlalu suka makan di dalam ruangan. Setiap ke restoran ini, ia selalu memilih untuk duduk di luar. Padahal udara di luar cukup panas dan membuatku berkeringat, tapi pria itu sama sekali tidak peduli.
Sebastian menatapku serius. "Jasmine, aku perlu bantuanmu!"
Saat mendengar ucapannya, aku terkekeh dalam hati. Tebakanku benar, ada suatu masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Lalu apa hubungannya denganku? Tentu saja sangat berhubungan. Jasmine adalah satu-satunya perempuan yang sangat-sangat Sebastian butuhkan untuk menyelesaikan semua masalahnya.
"Aku selalu siap membantumu. " Aku berkata sambil memegang tangannya.
"Berhentilah bekerja di toko roti!"
Keningku mengkerut, mencoba memastikan bahwa aku tidak salah dengar tentang sesuatu yang baru saja Sebastian ucapkan. Aku tidak akan mau berhenti dari toko roti itu, sudah terlalu banyak kenangan saat aku bekerja di sana.
Dengan berani aku menggeleng. "Aku tidak mau!"
"Aku sudah menemukan tempat kerja yang baru untukmu," ucap Sebastian seraya mempelihatkan kertas padaku.
Aku menolak untuk membaca kertas itu, kulipat kedua tanganku di depan dada sambil menatap kesal ke arahnya.
"Dengar Jasmine! Jika kau terus-terusan berada di toko roti itu, kau tidak akan pernah mengejar mimpimu!" Sebastian berkata dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Day After Meet
General FictionBelajar untuk menerima seseorang yang pernah ada di masa lalu memang sangat menyulitkan untuk kebanyakan orang, itulah yang dirasakan oleh Alsera Jasmine Shaira, seorang pembuat roti yang beralih profesi sebagai perancang busana di Perth. Ia memili...