"Kadang kita butuh wujud yang nyata untuk mengetahui siapa yang paling baik untuk kita pertahankan."
Aku memegang map tebal dengan perasaan campur aduk. Lalu, duduk dan menikmati pemandangan dari ruangan ku. Tiga desain baju yang ku gambar semalam baru saja disetujui oleh Nona Bert. Ya, seharusnya aku merasa senang tapi kenyataannya tidak. Di dalam benakku, masih terputar beberapa scene yang memaparkan etalase yang dipenuhi roti sobek dan beberapa cake yang biasa ku buat. Ini memang tidak mudah, apa lagi mengingat wangi cheese cake yang baru saja keluar dari oven, itu benar-benar membuat pikiranku kacau.
"Permisi.."
Suara bariton itu membuatku dengan cepat memutar kursi ku. Awalnya aku sangat terkejut namun segera ku ganti dengan raut wajah yang ramah, agar tidak membuat pria tersebut tersinggung.
"Ya, apa yang bisa ku bantu?" Tanyaku kemudian sebelum ia memberanikan diri duduk di hadapan ku.
"Aku Samuel, anak dari Bernadeth. Aku tidak sengaja lewat dan baru melihatmu di kantor ini, jadi aku menghampirimu." Jelasnya dengan sopan.
Aku mengangguk, penjelasan yang sangat masuk akal. Tapi? Siapa katanya tadi? Anak dari Bernadeth? Mataku yang tadinya menyipit seketika membulat, dengan sekali tarikan nafas aku langsung menyambutnya dengan senyuman hangat.
"A-aku memang baru seminggu di sini, jadi maafkan aku karena tidak mengenalimu." Kataku seramah mungkin.
Dia terlihat begitu tenang dengan senyuman kecil. Sementara aku hanya bisa menatapnya dengan gugup. Tibalah aku diambang kebingungan, apa yang harus kubicarakan atau kutanyakan sementara ia tidak kunjung pergi setelah mengenalkan dirinya.
"Aku pernah melihatmu bersama Sebastian di beberapa acara, kau membuatku bertanya-tanya tentang hubungan kalian." Sahutnya dengan nada sok tahu.
Baiklah, harus kuakui beberapa orang masih banyak yang belum percaya tentang hubungan kami. Tapi aku tetap tidak bisa memaksakan orang-orang untuk percaya. Padahal, kenyataannya aku dan Sebastian memang hanya menjalankan hubungan palsu.
"Seperti yang anda lihat, menurut anda kami adalah.. ?" Aku enggan menjawab dengan pasti, dan ingin membiarkannya menebak sendiri.
Sebelum melanjutkan kalimatku Samuel tersenyum kecut dan meninggalkan bungkusan buah-buahan segar yang siap santap. Keningku terangkat, baru saja aku ingin protes pria itu sudah membanting pintu ruangan dengan sangat kasar.
"Aneh sekali!" Pekik ku dengan kesal.
Meskipun merasa kesal dengan sikap anak Bernadeth yang bernama Samuel, aku tetap menyantap buah-buahan segar itu. Di satu sisi sebenarnya aku merasa beruntung karena mendapatkan makanan gratis, apalagi saat ini aku memang sangat malas untuk turun ke lantai dasar mengambil makanan di pantry.
"Sebastian tidak menghubungiku dua hari ini, tapi tidak apa -apa dia pasti akan menemuiku saat tidak sibuk." Ujarku pada Kathleyn di layar monitor.
Aku bisa melihat wajahnya yang begitu kesal saat ia tau kalau Sebastian tidak menghiraukan aku belakangan ini. Kathleyn sangat takut jika terjadi hal-hal yang buruk yang akan melukaiku.
"Si sibuk dan pekerja keras itu memang menyebalkan!" Ketusnya membuatku tersenyum kecil.
Aku berusaha menenangkannya dengan kalimat - kalimat yang berpihak pada Sebastian. Pria itu memang sangat sibuk, aku tidak bisa memungkiri hal itu. Kalaupun memang sebaliknya, aku tidak punya hak untuk marah karena kami memang tidak seserius itu dalam menjalin hubungan.
"Kau selalu membelanya sampai titik darah penghabisan, awas saja dia!" Ancamnya dengan tatapan tajam.
Aku terkekeh dan kembali menikmati buah-buahan segar di hadapanku. Sepertinya aku harus bertanya pada Samuel di mana ia membelinya, rasanya begitu menyegarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Day After Meet
General FictionBelajar untuk menerima seseorang yang pernah ada di masa lalu memang sangat menyulitkan untuk kebanyakan orang, itulah yang dirasakan oleh Alsera Jasmine Shaira, seorang pembuat roti yang beralih profesi sebagai perancang busana di Perth. Ia memili...