Racauan Nelangsa
Aku terlelap namun terjaga. Aku terpejam namun juga meratap tanpa alasan.
Waktu memang tak pernah setia. Sehingga aku pun terperangkap dalam terungku duka.
Di dalam terungku yang penuh ranjau cacak itu hanya ada aku seorang diri. Membiarkan belati hujani tubuh, pun ketaksaan yang cemburu mulai merasuki nadi. Tiba-tiba gejolak ini terasa hambar, saat kudengar lakuna menjerit haru.
Bersenandika di cermin demi mengorek setiap inci tubuh ini tidaklah menjawab rasa gundah gulana yang hari demi hari semakin menjadi. Berkelana tak menentu hanya akan mempertemukanku pada serpihan hati yang terluka.
Aku sudah lelah mencintai. Aku sudah lelah membagi renjana dalam diri. Nayanika miliknya yang dahulu memesona tak lagi membuai.
Selayaknya meraki yang padam, seringaian tawa yang menggema di memori telah terbenam. Diiringi rona pipi yang turut mengangkasa bersama percikan kehangatan. Hati yang semula kupersembahkan sudah terkoyak, meringkuk dalam selimut perasingan.
Temaram yang senyap kini menjadi sahabat dalam lelap. Tatapan arunika yang menghakimi buat sekujur tubuh meremang. Bersama racauan nelangsa ikut telanjangi paksa.
Palembang, 22 Agustus 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Kata
General FictionMengecap tiap inci perasaan melalui potongan-potongan kata yang hilang. Hanya berisi beberapa patah kata milik penulis sejak tahun 2018. . Higest rank: #305 - wattys #504 - poetry (5 April 2018)