Part 1: Lira

3.5K 116 0
                                    

Lalu lintas Surabaya begitu padat di pagi hari. Kendaraan bermotor saling berlomba adu kegesitan di dalam kemacetan. Beberapa klakson pun terus berbunyi saat lampu lalu lintas dalam sekejap berganti warna menjadi merah. Terkadang, suara kernet angkot yang sedang mencari penumpang pun tak kalah nyaring dari bisingnya lalu lintas.

Mas Soni menaikkan kaca helmnya. "Jam segini aja macetnya sudah begini. Makanya kalau kita ga berangkat pagi-pagi, telat deh pokoknya!" katanya padaku yang sedang dibonceng di belakang sepeda motornya.

"Gudangnya masih jauh ya, Mas?"

"Ga kok. Bentar lagi sampai. Kamu belum pernah ke Rungkut ya?"

"Belum pernah. Makanya aku nebeng Mas Soni, takut kesasar. Nanti kalau aku sudah hapal jalannya baru berani bawa motor sendiri." Aku terdiam sejenak. "Istri Mas Soni ga marah kan?"

"Ya ga dong. Kamu udah kayak adiknya sendiri kenapa dia harus marah? Kayak kita lagi selingkuh aja."

Aku mengedikkan bahu. "Kali aja."

Sekilas aku mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Seorang pria dari perusahaan peti kemas tiba-tiba saja muncul di depan gudang cabang di luar kota, saat itu aku menjabat sebagai kepala cabang tersebut. Dia terkejut ketika melihatku yang menurutnya sangat muda dan merupakan seorang perempuan dapat menjadi kepala cabang. Kami pun berdiskusi tentang jasa peti kemas yang ditawarkannya. Sesekali dia tampak seperti sedang merayuku, walaupun aku tidak begitu memikirkan sikapnya saat itu. Lalu, kami mengakhiri perbincangan kami dengan dia meminta nomor ponsel pribadiku. Pria itu beralasan bahwa akan lebih nyaman untuk diskusi selanjutnya melalui telepon pribadi.

Saat itu, aku menganggap semuanya biasa saja dan kami pun saling bertukar nomor ponsel. Aku sungguh tidak menyangka, pada malam harinya, dia meneleponku dan mengajak makan malam bersama. Dia berkilah ingin melanjutkan perbincangan kami tentang jasa peti kemasnya. Tapi, aku memberi alasan bahwa aku tidak bisa melakukannya pada malam itu.

Suara klakson pun terdengar dari arah luar rumah. Beberapa saat kemudian, suara seorang pria terdengar memanggil namaku. Aku saat itu tidak percaya bahwa pria itu sudah berada di depan rumahku. Aku memaki diriku sendiri saat mengingat aku tidak sengaja memberikan alamat rumahku pada pria itu.

Dengan terpaksa dan sedikit takut, aku masuk ke mobil pria itu. Dia membawaku ke sebuah rumah makan yang cukup mewah dan memesan hidangan mahal. Lagi-lagi dia merayuku dan aku semakin merasa tidak nyaman.

Tiba-tiba seorang wanita muncul dan berteriak memaki kepada kami. Dia mengaku bahwa dia adalah istri pria itu. Para karyawan rumah makan menjadi panik dan memaksa wanita itu keluar. Si pria peti kemas itu pun mencoba menenangkan istrinya dan pergi meninggalkanku. Saat itu, aku hanya terpana dan menganggap kejadian itu seperti opera sabun televisi. Entah kenapa kejadian yang hampir mirip seperti itu terus berulang kepadaku dengan beberapa pria lain.

"Ngomong-ngomong, kamu diet ya?" Suara Mas Soni menarikku kembali ke masa kini. "Wajahmu jadi agak beda. Aku jadi pangling."

"Ga pernah diet kok Mas. Beban pekerjaan kayaknya. Jadi kepala cabang tuh bikin stres! Makanya jadi begini."

"Hati-hati loh! Nanti kamu digangguin sama laki-laki ga jelas."

"Iya, iya, Mas."

Tiba-tiba perutku terasa sakit. Sakit ini terasa sangat familiar. Aku merogoh saku jaketku dan mencoba memeriksa kalenderku melalui ponsel. Tampaknya tamu bulananku akan segera datang.

Motor Mas Soni melewati sebuah pagar yang cukup tinggi. Tepat di baliknya terdapat sebuah pos keamanan. Mas Soni pun menyapa dua orang keamanan yang sedang berjaga dan meneruskan perjalanan ke arah tempat parkir.

"Aku cari sarapan dulu ya." Mas Soni melepaskan helmnya. "Mau ikut?"

"Nggak, Mas. Aku mau ke toilet."

"Toiletnya ada di dalam sana. Masuk aja, nanti ada ruang loker, toiletnya pas di sebelahnya." Mas Soni berjalan meninggalkanku.

Setengah berlari, aku memasuki wilayah gudang lebih dalam. Terdapat sebuah pintu pagar tinggi lainnya yang sudah terbuka lebar. Tak jauh, terlihat sebuah ruangan dengan deretan loker dan sebuah pintu lainnya bertuliskan toilet. Segera aku memasuki salah satu bilik di dalamnya dan memeriksa keadaan di bawah sana.

Tampaknya sudah muncul sedikit percikan darah di celana dalamku. Aku harus segera membeli pembalut sebelum hal ini membuatku mempermalukan diriku sendiri. Aku hanya harus mencari seseorang dan bertanya letak toko kelontong di dekat sini.

Aku pun keluar dari toilet. Kemudian, berjalan kembali ke arah tempat parkir. Tepat pada saat itu, muncul seseorang berseragam seperti seorang ajudan menggunakan sepeda gunung. Pria itu berhenti dan menatapku. Pria itu sangat tampan dan berkulit bersih, membuat jantungku berdetak semakin cepat.

Sejak kapan perusahaan ini punya orang seganteng ini? Tipeku banget.

Terbersit di pikiranku bahwa aku harus mengenalnya lebih dekat. Aku berdoa di dalam hati, berharap pria itu pun akan menyukaiku. Aku bahkan sesaat melupakan hubunganku dengan Geo yang saat ini berstatus sebagai pacarku.

"Karyawan baru, ya, Mbak?" Pria itu menarikku kembali ke kenyataan.

"Oh, bukan, Mas. Saya dari cabang luar kota, disuruh Pak Lesmono belajar sistem gudang yang baru di sini."

"Maaf, ya, Mbak. Saya kira karyawan baru, soalnya baru pertama kali lihat Mbaknya." Pria itu melihat jam tangannya. "Masih ada setengah jam sebelum Pak Aji datang. Kalau mau, Mbak bisa duduk-duduk di dekat ruang loker sambil menunggu."

"Iya, Mas, nanti saya tunggu di situ. Oh, ya. Saya mau tanya warung di dekat sini dimana ya, Mas?"

"Mbak belum sarapan? Di depan gudang banyak, kok, Mbak yang jualan."

"Bukan. Maksud saya toko kelontong."

"Toko kelontong jauh dari sini, Mbak. Di depan komplek sana. Mbak mau beli apa? Biar saya yang belikan."

Jantungku berdetak semakin cepat. Ini bukan momen yang kuharap saat sedang berkenalan dengan gebetan. "Biar saya jalan saja, Mas."

"Jangan, Mbak. Jauh banget. Bilang saja mau beli apa. Nggak usah sungkan."

"Ini masalah wanita, Mas." Aku meringis. "Saya nggak enak minta Mas belikan. Biar saya jalan saja."

"Pembalut?" tanya pria itu dengan wajah datar.

BINGO! Rasanya jantungku ingin segera meloncat dari tempatnya. Aku bisa merasakan panas di wajahku. Mungkin wajahku sudah tampak seperti apel merah. "I-iya, Mas."

Pria itu menadahkan tangannya ke arahku. "Kasih saja uangnya, biar saya belikan." Dia tersenyum lembut.

Aku dengan gugup memberikan selembar uang sepuluh ribu padanya. Dengan gesit, pria itu meluncur cepat menggunakan sepedanya, menghilang dari hadapanku.

Benar-benar momen memalukan. Tidak mungkin aku bisa flirting karena kejadian bodoh ini.

Tidak lama, pria berseragam ajudan itu sudah muncul kembali di depanku bersama sepeda gunungnya serta sebuah bungkusan plastik hitam. "Kembaliannya di dalam plastik, Mbak."

"Oke, Mas. Makasih, ya. Saya langsung ke toilet, ya." Aku mencoba untuk tidak berlari dan berusaha bersikap santai, seolah-olah tidak terjadi apapun. Setelah sampai di toilet, aku segera memakai pembalut dan kembali berjalan keluar. Aku pun menunggu di dekat ruang loker.

Lagi-lagi, pria berseragam ajudan itu muncul dengan sepedanya. Dia tersenyum dan duduk di sampingku. Dia menyerahkan sebuah buku besar bertuliskan buku tamu. "Isi ini dulu, ya, Mbak. Nanti saya lupa."

"Iya, Mas." Aku menuliskan nama dan alamatku, serta membubuhinya dengan tanda tanganku.

"Berarti saya panggilnya Mbak Lira? Mbak bisa panggil saya Adit."

Aku menoleh. Wajah kami berjarak cukup dekat. Aku bahkan bisa mencium aroma khas dari pria itu. Sesaat itu juga aku tahu bahwa aku sudah jatuh hati padanya.

InfidelityWhere stories live. Discover now