Tiga hari terlewatkan hubunganku dengan Mario kembali menghangat. Kembali seperti awal-awal pernikahan kami, setiap malam Mario selalu bercerita padaku tentang apa pun itu. Walau saat ini aku merasa tidak sepenuhnya ia menceritakan tentang yang dialaminya. Tapi tidak mengapa, dengan perlahan saja, semoga ini menjadi awal yang baik kembali untuk hubungan kami.
"Sarapan udah siap!" seruku berucap ketika melihat Mario keluar dari kamar.
Mario tersenyum. "Masak apa hari ini?"
"Cuma masak nasi goreng aja, nggak pa-pa kan, Mas."
"Nggak pa-pa, ini juga udah cukup."
Aku tersenyum menanggapi jawaban Mario. Kemudian menyiapkan piring, mengambilkan makanan untuknya.
"Nanti malam nggak usah masak, kita makan malam di luar aja ya?" Mario berucap setelah menyelesaikan sarapannya.
"Beneran nggak usah masak?"
"Iyah, biar kamu nggak capek."
"Tapi jangan bohong, ntar aku nggak masak kamu malah nggak jadi ngajak."
"Nggak sayang, masa aku bohong."
"Baiklah!" Senyumku mengembang setelahnya.
"Kalau gitu aku berangkat dulu ya."
"Iyah."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawabku, kali ini ada yang berbeda. Mario kembali mengecup keningku sebelum berangkat. Setelah lama tidak melakukan.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, kini saatnya aku bersantai sembari membaca-baca buku, mencari inspirasi untuk novel yang akan aku tulis. Ada satu kalimat menarik yang aku baca 'You don't see the whole picture. If you can see the whole picture, mungkin yang kita anggap kecil, justru jauh lebih besar dari kita.' maksudnya jangan sampai kita sombong dan meremehkan orang lain.
**
Sore kembali tiba, namun mengapa tidak ada tanda-tanda kepulangan Mario? Biasanya setiap hari ia mengabari jikalau sudah akan, atau telat pulang.
Menunggu beberapa menit, masih belum juga ada kabar kepulangan Mario. Sudah kukirim chat whatsApp namun dibaca pun tidak.
Kini sore hari sudah berganti dengan malam hari. Adzan isya sudah berkumandang, tapi di mana Mario? Mengapa masih belum pulang? Sudah aku coba panggilan telepon tapi tidak dijawab, bahkan chat whatsAppku pun belum dibacanya.
Kini rasakecewa kembali datang pada hatiku, namun juga gelisah dan khawatir. Dimana sebenarnya Mario, tidak ingatkah ia akan janjinya mengajakku makan malam bersama?
Malam semakin gelap, gerimis mulai turun. Sudah berlalu setangah jam menunggu akhirnya Mario memberiku kabar.
"Malam ini aku nggak pulang, maaf ..."
Setidaknya aku lega jika Mario baik-baik saja.
"Kamu di mana?"
Sekarang sudah jam 11 malam, sudah berapa lama pesanku tidak mendapat balasan. Aku tersenyum pedih, menelan rasa kecewa dan sakit hati. Kubuka jendela kamar, menatap hujan dari jendela. Malam semakin gelap, hujan semakin deras. Menemani hatiku yang kembali merasa kecewa.
'Tega sekali kamu Mario!'
Seperti layangan yang ditarik ulur. Seperti yang hatiku rasakan, sebentar merasa bahagia, kemudian rasa kecewa kembali melanda.
Kapten ... Tidak ingatkah pada janjinmu yang akan mengajakku makan malam. Kamu yang berjanji, namun kamu juga yang mengingkari.
Kuhembuskan nafas kecewa.
Sembari menahan rasa sesak di dada. Ku tutup jendela kamar, membaringkan tubuh di atas kasur. Tidur dengan ditemani rasa kecewa, sakit hati dan perut lapar.
'Tega kamu kapten!'
**
Pagi kembali datang, ku raba kasur di sebelahku. Kosong.
Rupanya semalam Mario benar-benar tidak pulang. Tak terasa air mataku tiba-tiba menetes. Jangan tanya kenapa, yang pasti hatiku kembali sakit. Namun mengapa rasanya kali ini benar-benar sakit melebihi rasa sakit sebelumnya.
Aku bangun dari tidurku. Beranjak ke dapur untuk membuat sarapan, semalaman tidak makan, pagi ini membuatku sangat lapar.
Sarapan dengan ditemani air mata, rasanya air mata pun ikut tertelan. Sebegitu rapuhnya kah hatiku saat ini?
"Tega sekali kamu, Mario," ucapku sembari terisak.
Mau sampai kapan aku menjalani hubungan seperti ini? Tolong beritahu, apa aku harus mundur atau bertahan.
Bagai mati rasa, aku tidak ingin menanyakan keberadaan Mario lagi. Padahal ini sudah siang hari.
Kalau dihitungkan hampir sehari semalam Mario pun tidak lagi memberiku kabar. Biarlah, akan kubiarkan saja Mario dengan egonya. Dalam benakku berpikir, mungkin cara dia menghilang menunjukan kalau aku memang tidak diinginkan.
**
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawabku sembari membuka pintu. Terdiam sebentar, kutatap wajahnya, tersimpan rasa lelah. Namun seakan aku tidak ingin peduli.
"Aku masuk dulu."
Mario melewatiku begitu saja, aku tersenyum miris. Sebegitu tidak diinginkannya kah diriku? Atau aku ini memang tidak pernah ada di dalam hatinya.
'Mario, katakan saja kalau aku adalah beban!'
"Semalam kamu kemana?"
Langkah kaki Mario terhenti dengan pertanyaan yang aku lontarkan.
Hening tidak ada jawaban.
Kuulangi lagi pertanyaanku. "Semalam kamu dimana?"
"Di rumah Mamah," jawabnya kemudian langsung berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar.
Mendapat balasan seperti ini, rasanya aku seperti menertawakan diriku sendiri. Sungguh miris. Merasa memang aku ini tidak diinginkan. Lalu mengapa bisa aku masih bertahan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nahkodaku √ ||End
Historia CortaCerita Pendek ⚠️Awas baper! Tentang sebuah kisah cinta yang dibiarkan terus berjalan. Tentang dua orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan. Namun dimana rasa cinta itu? Sepertinya tidak ada, atau memang belum ada? Tentang sebuah kapal yang seda...