"Kita pulang sekarang, Sir?" tanya supir pribadi Seungwoo dengan hati-hati.
Seungwoo menghela napas panjang dan menyamankan dirinya dalam mobil mewah yang selalu membawanya pergi itu, "Ya," jawabnya singkat.
Pelan mobil itu mulai melaju dengan tenang di jalanan besar kota Seoul. Seungwoo memejamkan matanya, mencoba mengistirahatkan pikirannya.
Malam ini begitu melelahkan, rangkaian rapat dan pertemuan membuat otaknya terasa begitu letih. Dan di saat seperti ini dia selalu merindukan ibunya, sosok yang selalu memeluknya di kala gundah menyelimuti dirinya.
Sejak kedua orangtuanya meninggal, dia tak pernah lagi berkumpul bersama teman-temannya, tak pernah lagi memanjakan dirinya dalam kesenangan. Apalagi semenjak Jisoo meninggalkan dirinya, rasa kecewa terhadap wanita mematikan perasaannya. Saat ini hidupnya hanya tercurah untuk Dongpyo, putra semata wayangnya.
Dia tahu, Dongpyo selalu mencoba menarik perhatiannya. Bocah itu merasa kesepian setiap kali dia tak ada di rumah. Tapi tuntutan pekerjaan membuatnya tak mempunyai pilihan lain. Dia hanya bisa pasrah setiap kali Dongpyo marah dan tak mau bicara dengannya. Dan selama ini hanya Byungchan lah yang selalu mampu melunakkan hati anak itu.
Byungchan, mereka berteman sejak duduk di bangku kuliah. Tidak dekat, tapi hanya dialah satu-satunya orang yang selalu mengerti walau dia tak banyak bicara. Seorang yatim piatu sejak kecil, hidup hanya dari hasil keringatnya sendiri. Pria yang mandiri, itu pendapatnya tentang Choi Byungchan, teman sekaligus karyawan terpercayanya. Karena dukungan Byungchan jugalah dia akhirnya optimis menjalankan perusahaan ini tanpa kedua orangtuanya dan karyawan-karyawan senior yang telah meninggalkannya.
Dia terus menjalankan perusahaan ini bersama karyawan- karyawan muda, teman-temannya sendiri yang telah bekerja di perusahaan ini semenjak mereka lulus kuliah.
"Maaf, Sir, kita sudah sampai."
Ucapan sopir yang telah membuka pintu mobil untuknya membuyarkan lamunan Seungwoo. Setelah mengucapkan terima kasih dia pun turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumahnya yang megah.
Ruangan sudah gelap saat dia membuka pintu. Tidak banyak pembantu di rumah ini, hanya beberapa saja. Bukan karena dia tak sanggup membayar gajinya, hanya saja untuk mengurus dua orang tidak memerlukan banyak tenaga, begitu pikirnya.
Dia membuka jas kerjanya, melemparkannya ke sofa di ruang tengah, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa panjang yang empuk dan nyaman.
Pelan dia memijat pangkal hidungnya, berusaha meringankan rasa pusing yang mulai menyerang.
Dia tersentak saat tiba-tiba lampu di ruangan itu menyala, "Byungchan?" katanya heran saat melihat pria itu berdiri di dekat pintu.
"Maaf, aku mengejutkanmu?" tanya Byungchan.
Seungwoo memposisikan dirinya untuk duduk, "Kenapa kau di sini?" tanyanya.
Byungchan melangkah menuju dapur kering yang tak jauh dari ruang tengah, mengambil segelas air putih dan menyerahkannya pada Seungwoo, "Aku baru saja menidurkan Dongpyo, dia sulit sekali dibujuk hari ini," jawabnya.
Seungwoo menerima gelas itu dan meneguk isinya. Dia tersenyum samar, "Maaf aku jadi merepotkanmu," katanya.
Byungchan tertawa renyah, "Tak masalah, aku menyukai Dongpyo. Walau kadang keras kepalanya sama seperti kau, Sir," godanya.
Seungwoo mendengus pelan, dia tak menyangkal, Dongpyo memang tumbuh seperti dirinya.
"Apa… belum ada kabar dari ibunya?" tanya Byungchan hati-hati.
"Ibunya mati," jawab Seungwoo seketika.
Byungchan mengangguk pelan, dia tahu kalau Seungwoo masih begitu membenci Jisoo, "Baiklah, aku pulang dulu," katanya sambil menepuk pelan bahu Seungwoo.
Seungwoo tersentak, jemari Byungchan terasa begitu hangat hingga menembus kemejanya dan membelai kulitnya. Tanpa sadar dia meraih tangan Byungchan dan menahannya.
"What?" tanya Byungchan heran.
Seungwoo menatap emerald itu, sejuk, ada ketenangan di dalamnya, ketenangan yang mengalir melalui sentuhan mereka dan membuatnya nyaman.
"Sir?" tanya Byungchan bingung karena Seungwoo tak juga melepaskan tangannya.
Seungwoo tergagap, dia mencoba menormalkan detak jantungnya yang entah kenapa mendadak menjadi gelisah, "Tidak," jawabnya sambil melepaskan tangan Byungchan dengan enggan, dia mengeluh dalam hati karena kenyamanan itu hilang seketika.
"Tak ingin menemaniku minum?" tawarnya mengalihkan perhatian.
Byungchan tertawa pelan, "No, Sir, sebaiknya kau juga beristirahat, ini sudah sangat larut," tolaknya.
"Berhenti memanggilku 'Sir' saat berada di luar kantor, Byungchan." desahnya, "Kau membuat pikiranku semakin tegang," kata Seungwoo sambil kembali merebahkan diri di atas sofa.
Byungchan tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Goodnight, hyung, sampai besok di kantor," pamitnya sambil kembali mematikan lampu dan meninggalkan rumah itu.
.
.
Byungchan mengemudi mobilnya dengan tenang di jalanan yang mulai tampak sepi. Lampu-lampu kota mengiringi sepanjang jalannya, indah dan begitu terang. Lagu klasik mengalun dari tape mobilnya, menenangkan syarafnya yang sempat tegang tadi saat Seungwoo memegang tangannya.
Panasnya masih terasa sampai sekarang, sampai dia menggunakan tangan itu untuk mengendalikan kemudi, panas yang begitu membakar jiwanya.
Tak ada yang tahu, tak ada yang boleh tahu kalau selama ini dia menaruh perhatian lebih pada bosnya itu. Awalnya hanya simpatik saja, prihatin pada kehidupannya setelah kedua Han senior meninggal, semakin prihatin saat istrinya yang cantik itu meninggalkannya dan Dongpyo.
Dia melihat betapa kosong jiwa pria muda yang tampan itu, menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja. Jiwanya dingin, bahkan senyumpun tak lagi hadir di bibirnya.
Tapi Byungchan tahu, semua temannya tahu, kalau Seungwoo takut sendiri. Oleh karena itulah mereka tetap tinggal di perusahaan ini, menemani bos muda mereka, membantunya mengobati luka hatinya secara perlahan. Seungwoo membutuhkan teman, itulah yang mereka pikirkan selama ini.
Hasil yang mereka kerjakan bersama tak mengecewakan, setelah bekerja keras selama hampir empat tahun, perusahaan yang pernah terpuruk itu perlahan mulai bangkit kembali, walau tak sekuat saat dalam pimpinan Han Yunho, ayah Seungwoo, tapi perekonomian mulai stabil, bahkan lebih dari cukup untuk mendongkrak kebutuhan perusahaan.
Byungchan senang, karena Seungwoo mulai optimis kembali. Hidupnya mulai tertata lagi, walau dia masih enggan berurusan dengan wanita. Seungwoo mungkin masih mencintai Jisoo, itu tampak dari sikap Seungwoo yang tak juga mengajukan gugatan cerai pada istrinya.
Ada rasa perih saat Byungchan memikirkan hal itu. Dia menghormati Seungwoo, menyayangi Dongpyo. Tapi sisi egoisnya begitu marah setiap kali dia mengingat Jisoo. Cemburu? Entahlah. Dia hanya merasa ingin membahagiakan Seungwoo dan putranya.
.
#
.
KAMU SEDANG MEMBACA
YES, SIR! [Seungwoo X Byungchan] END
FanfictionSeungwoo, si duda beranak satu, yang mulai tidak suka di panggil 'Sir' oleh salah satu karyawannya. "Berhenti memanggil ku 'sir' saat diluar kantor, Byungchan." "Ibu guru menyuruh kami menggambar wajah ayah dan ibu, tapi aku lupa wajah mommy, jadi a...