Hai....aku ganti judul ya...aku kasih judul yang menurutku lebih cocok sama isi storyku...
Terima kasih buat yang sudah ngasih vote dan heboh komen di part kemarin...readers tersayangku memang the best....
Selamat membaca
Dua hari berlalu sejak usahaku untuk bunuh diri gagal. Elang semakin protektif padaku. Tak pernah sekalipun aku dibiarkan sendirian. Dia, ibu, ayah, mama dan papa bergantian menjaga dan menghiburku.
Seharusnya aku bersyukur menerima ketulusan hati dan kebesaran jiwanya menerimaku yang sudah kotor ini. Tapi, rasa percaya diriku sudah benar benar hancur tak bersisa. Cantika benar berhasil menghancurkanku menjadi kepingan kecil tak bermakna. Kilasan kejadian saat ketiga pria itu menggilirku membuat aku merasa diriku begitu rendah untuk memantaskan diri bersanding dengan pria sehebat Elang.
Papa dan mama memang menerima semua sama seperti Elang. Tapi bagaimana dengan keluarga besarnya? Apa yang akan orang katakan bila mereka tahu kalau keluarga seorang Darmawan memiliki menantu bekas sepertiku. Aku tidak mau mencoreng aibku dan mempermalukan mereka.
Aku memang sangatlah mencintai Elang. Tapi aku harus segera menghilang dari kehidupan mereka. Elang pantas mendapatkan wanita yang lebih segalanya dariku.
"Apa yang kepala cantik ini pikirkan hm..?"
Aku tersentak saat suara Elang membuyarkan lamunanku. Aku tengah duduk dengan kursi rodaku di taman depan ruang rawatku.
"Kenapa sendirian? Mana ibu?"
"Uhm...ibu mandi..."
Elang menghela nafasnya dan duduk berjongkok di hadapanku. Matanya lekat menatapku dan kulihat kekhawatiran disana. Aku berusaha tersenyum untuk menenangkannya.
Elang memeluk betisku dan duduk di rerumputan tanpa menghiraukan celana jeansnya akan kotor. Dia menyandarkan kepalanya di pangkuanku membuat aku tertegun dan tak tahu harus berbuat apa.
"Aku merindukan Febiku yang dulu...ceria dan manja...kemana dia?"
Tanganku yang bebas dari selang infus membelau helaian rambutnya dengan lembut.
"Maafkan aku..."
"Aku maafkan asal kembalikan Febiku...karena Febiku yang sekarang terasa begitu jauh dan menghindariku"
Elang mengangkat kepalanya dan menatapku intens.
"Aku mencintaimu Sayang...tidakkah itu cukup untuk membuatmu berbagi semua bebanmu padaku?"
Aku terdiam dan mengalihkan pandanganku darinya yang terlihat begitu penuh harap.
"Lepaskan aku Lang..."
"Tidak akan...dan jangan harap"
Aku terkejut mendengar nada bicara Elang. Aku memberanikan diri menatapnya dan lidahku kelu melihat sorot matanya yang tengah menatapku tajam.
"Kamu milikku! Buang jauh jauh pikiranmu untuk meninggalkanku karena selama aku hidup itu tidak akan pernah terjadi!"
Elang mengucapkan itu dengan nada tegas dan terkesan arogan membuat aku terdiam.
"Dokumen yang kita butuhkan sudah siap. Dan lusa kita akan menandatanganinya. Papa akan membawa pendeta ke sini untuk mengesahkan pernikahan kita di hadapan Tuhan"
Aku menggeleng panik dan mengulurkan tanganku ke arah roda kursi rodaku tapi Elang menahan kursi rodaku.
"A...aku...tidak...mau"
"Kau sudah menerima lamaranku, Sayang. Aku setuju jika pestanya ditunda...tapi tidak untuk yang lainnya"
Aku menangis sambil berusaha melepaskan pegangan Elang pada kursi rodaku.