9th LINE

135 11 1
                                    

Setelah jatuh bangun begitu kesulitan menghadapi keadaan Randell yang tengah traumatik dan depresif, akhirnya Heru berhasil menenangkan Randell. Mereka berdua kemudian duduk membisu. Dengan jarak sekitar 50 centi.

Randell duduk bersandar didinding, dengan tangan terlipat dikedua kakinya sebagai penopang. Sedangkan Heru duduk ditepi ranjang membelakangi Randell.
Heru bingung mau ngomong apa. Rasanya dia udah nggak pantes buat ada disisi Randell lagi.

Heru ngambil selimut satu lagi diatas bantal. Dia pakai buat nutupin bagian bawah tubuhnya.
Ekor matanya sempat melihat noda merah diseprei. Itu ternyata noda darah. Dan Heru makin kalut. Dia bingung mau gimana? Sedangkan Randell aja nggak mau diajak bicara, nggak mau dideketin sedikitpun, apalagi disentuh.

"Pu... Pulang!" ucap Randell dengan jelas tiba-tiba. Tanpa melihat Heru. Dia seolah jijik dan nggak mau melihat Heru.

"Ren..."

"Gue bilang, pulang!" bentak Randell sembari bangkit. Dia mau dorong Heru, tapi kemudian rasa sakit semakin menjalari bagian duburnya. Randell merintih kesakitan. Dan waktu Randell meriksa bagian bawahnya, telapak tangannya dibanjiri darah segar.

Heru tanpa peduli langsung gendong Randell paksa ke kamar mandi. Meski Randell setengah berontak. Kemudian Heru bersihin tubuh Randell. Kali ini Randell memilih diam. Nggak ngelawan. Karna dia udah nggak tahan sama rasa perih dan panas yang menyiksanya.

"Maaf," Heru cuman bisa ngucap itu. Dia dengan sabar bersihin tubuh Randell.

Setelah mereka berdua selesai mandi, Heru bopong tubuh Randell ke atas ranjang.

"Udah puas kan lo?" sindir Randell.

"Gue sayang sama lo, Ren... Jangan ngomong kayak gitu!"

Randell menghela nafas berat, "Ini yang namanya sayang?" Pelan-pelan Randell rebahin tubuhnya. Dia kehilangan banyak tenaga. Tubuhnya kerasa lemes banget. Dan duburnya masih terasa perih dan panas nggak karuan.

"Gue nggak tahu mau ngomong apa. Tapi gue beneran sayang sama lo dari dulu. Gue siap tanggung jawab!"

Randell tertawa renyah, "Mau nikahin gue? Sinting!"

"Gue nggak akan ninggalin lo. Gue sayang sama lo, Ren!"

Randell narik selimut. Dia ganti posisi tidur. Munggungin Heru. "Gue normal! Nggak akan mau pacaran sama lo!"

Heru cuman diem. Dia cuman bisa duduk ditepi ranjang. Nggak tahu mesti gimana.

"Lo udah bukan temen gue lagi!"

"Ren!" protes Heru. Itu kalimat yang paling dia takuti dari tadi. Dan baru saja terlontar.

Randell nengok ke arah Heru sebentar. "Kok lo masih disini? Dari tadi kan gue nyuruh lo pulang."

Heru mendecak kesal, "Gue nggak akan ninggalin lo dalam keadaan kayak gini. Ini salah gue!"

Heru pamit keluar sebentar. Pas balik, dia bawa bubur ayam, wedang jahe hangat sama obat. Setelah ribut-ribut sebentar, akhirnya Randell mau makan dan minum obat. Randell mulai melunak. Dia nggak sedingin diawal.

Setelah beres, tiba-tiba Randell cerita, "Gue dulu pernah hampir digituin sama bokap gue."

Heru membelalak tak percaya. Sambil dia beresin mangkuk dan yang lain, Heru ngedengerin dengan seksama.

"Waktu itu gue masih umur sebelas. Bokap kandung gue yang berniat lakuin itu. Dan gara-gara itu juga gue sempet ngalami trauma mendalam dan akhirnya jadi depresi, gaguk. Lama-lama gue kesulitan bicara. Itu juga karna gue dicekik. Tenggorokan dan pita suara gue luka." sambung Randell.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CROSS THE LINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang