Pt. 1 Spasi

153 72 32
                                    

Di sudut ruangan, seorang gadis muda duduk menghadap jendela. Namun tidak ada yang ia pandang, ia hanya menatap kosong. Ia selalu mempunyai tatapan yang sama dan ekspresi yang sama.

Suara radio tua mengalunkan nyanyian dari negri nun jauh di seberang, bermil-mil dari tempat duduk gadis itu. Setiap pagi dan sore, tempat itu menjadi tempat yang bisa membuatnya jauh berhayal akan indahnya sebuah rasa yang aneh dan jauh dari indranya. Semakin mendayu melodi lagu itu, semakin jauh kemelut hatinya berlayar. Matanya membentuk lukisan ekspresi yang melankolis. Ia merindukan seseorang yang berada puluhan mil itu. Meski ia tidak memahami setiap kalimat dari lirik lagu itu, namun ia berpendapat jika lagu itu sangat menggambarkan perasaannya saat itu. Di ujung melodi, gadis itu menarik napasnya dengan berat. Andai saja ia adalah gadis bermata biru, seperti dalam cerita yang sering pria itu bacakan untuknya, ia tersenyum menyadari dirinya mengandai-andai. Itu hanya dalam cerita murahan. Tidak ada wanita seperti itu di sini. Bukan dirinya yang bermata coklat yang sangat pasaran. Mungkin pria itu juga benar, jika wanita seperti itu hanya indah dibayangkan bukan untuk ditemui. Itu artinya ia masih punya harapan. Tapi, bagaimana dengan spasi yang tidak bisa disingkirkan antara kata dia dan pria itu? Gadis itu kembali gamang dan lagu pun sudah berganti dengan lagu yang lebih mendayu. Ia semakin tenggelam dalam kegundahannya.

Di kejauhan, bermil-mil dari kursi tua tempat gadis itu duduk mendengarakan lagu-lagu dari tempat pria itu berasal, pria itu menatap laut di depannya. Pria itu mengingat kembali senyuman gadis yang tidak pernah melihatnya itu. Ia mendesah, jika di dunia ini semuanya bisa berjalan sesuai keinginanya, ia rela gadis itu tidak pernah melihatnya. Asalkan ia dan gadis itu bisa hidup bersama tanpa spasi sedikitpun. Tapi, lautan seolah menyadarkanya bahwa daratan tidak pernah bisa bersatu dengan lautan untuk merasa bahagia. Mereka bisa bahagia meski punya batasannya masing-masing. Begitu juga ia dan gadis itu. Meskipun keduanya saling menginginkan, alam telah membuat aturannya sendiri. Aturan yang hakiki. Bukan alam yang egois, namun ia dan gadis itulah yang bersalah. Mengapa membiarkan rasa itu tumbuh dan harus punya telinga yang mendengar komentar miring itu? Mengapa gadis itu hanya bisa merasakan keberadaannya tanpa bisa melihatnya? Mengapa ia tidak bisa membenci mata coklat yang pasaran itu? Mengapa ia puas hanya bisa dirasakan gadis itu tanpa berharap gadis itu mampu melihatnya? Mengapa itu harus menciptakan spasi di antara keduanya?

Gadis itu adalah malam dan pria itu adalah siangnya. Pria itu adalah matahari dan gadis itu adalah bulannya. Hal itu menjadi penyebab keduanya tidak bisa menyatu?
Gadis itu mebutuhkan, menyukai, dan merasakan hal aneh itu. Hal yang mencoba melepas spasi antara keduanya. Pria itu menyukai, melihat, dan merindukan gadis itu, namun tidak punya daya untuk melepas spasi itu.

Siapapun tidak akan menyetujui keduanya bersama. Seorang pria yang berpendidikan, cerdas dan pintar bersama gadis buta itu? Jika itu terjadi, pria itulah pasti yang sesungguhnya buta.
Seorang gadis yang polos, penyendiri, dan tidak bisa melihat. Tidak punya malu jika bersedia disunting pria itu. Itulah kemelut di hati keduanya. Tetap akan ada spasi karena keduanya merasakan dan peduli dengan banyak kata yang akan muncul mengapit kata antara gadis itu dan pria itu jika spasi di antara keduanya mereka singkirkan.

Inilah akhir dari makan siang setahun yang lalu. Hari terakhir pria itu memasak untuk sang gadis impian. Begitulah caranya agar gadis itu bisa merasakan keberadaanya. Rasa masakannya adalah ungkapan rasa dari hatinya. Hari itu juga, sang gadis yang selalu merasa tidak percaya diri dengan mata coklatnya membuat sketsa pria pujaanya. Ia semakin tersadar membuat sketsa itu saja tidak cukup membuatnya bisa memilikinya.
Hanya suara yang selalu ia dengar yang dicobanya menggambar wujud prianya. Namun keduanya harus saling merasakan dan melihat satu sama lain jika ingin bersama.

Akhirnya, sang gadis kembali menikmati suasana dengan hamparan dunia yang melankolis, dan sang pria tetap duduk menghadapi lautan rindu dari puluhan mil dengan rasa irinya melihat burung-burung terbang mengejek kesendirian dan ketololannya.

Jika mereka bertemu lagi hari esok, di lembaran buku lainnya, atau dalam bait lagu lainnya, mereka memiliki harapan yang sama. Jangan ada spasi antara keduanya. Hanya ada satu kata yang tidak bisa dipisahkan yaitu kita. Bukan aku dan dia, kami bukan mereka dan kalian. Jangan pernah ada satu spasi pun di dunia baru itu.

Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang