Pt. 2 Ruang Tamu

107 63 51
                                    

Hembusan angin malam membuat tirai di ruang tamu menari dengan gemulai. Kulihat sosoknya duduk di sebuah bangku di ruang tamu. Sangat jelas. Terasa begitu nyata kurasakan kehadirannya di situ.
Kubuka tirai kamar yang menghadap ke ruang tamu. Sosoknya semakin jelas kulihat. Langkah kakiku terus mendekat, dia tersenyum dengan ekspresi kemarin. Tidak ada yang berubah bahkan kerutan-kerutan yang sama di wajahnya masih menyapaku dengan nada yang sama.

Namun dia bungkam meski menyunggingkan senyuman itu padaku. Aku duduk seperti biasa sambil mataku menjelajahi setiap goresan sisi wajahnya.

"Aku rindu," kataku lirih. "Maukah kau memberikan buku agendamu sebagai hadiah ulang tahunku? akan kutulis cerita tentang Ria dan Rio yang selalu mengoceh tentang ayahnya yang begitu hebat, dan juga tentang aku yang menunggu kabar darimu di setiap kepergianmu."

Kutatap wajahnya dalam, namun dia masih tetap tersenyum tanpa membuka suara. Tangan dinginnya kuraih dan kuletakan di dadaku.

"Aku marah padamu ketika kau lebih mendengarkan panggilan tanah airmu dari pada tangisan anakmu. Aku iri sekali ketika kau  katakan bahwa akan kau korbankan hari bahagiamu bersamaku jika tanah air memanggilmu. Dimana hatimu, cintamu, dan semua indra perasamu ketika anak kita menangis memanggilmu? Nuraniku yang egois dan buta merasa tersayat mendengarnya. Rasanya ingin kulari jauh menembus rimba bersama mereka untuk menemuimu. Tapi janjiku untuk melindungi dan membesarkan anak-anakmu dengan baik membuatku seperti dihadapkan pada buah simalakama."

Dia terus diam tak berkomentar.

Angin malam bertiup semakin kencang. Perahu layar yang berangkat dari dermaga  pagi tadi pasti sedang terombang ambing dikegelapan lautan. Suara atap rumah berderit-derit ditambah dinginnya udara yang semakin menusuk tulang, membuatku takut.

Kudekap tubuhnya dengan erat agar ia merasakan betapa rindu dan takutnya aku saat itu. Namun tubuh atletisnya tidak sehangat kemarin saat terakhir kali kupeluk.

Saat itu ia membelai rambut panjangku yang ikal dan bercerita tentang kehidupannya di hutan, medan perang dan perkotaan tempat para kempetai bersarang. Secarik tawa terselip di sela-sela ceritanya apalagi bila dia ditugaskan bersama Tomo yang sangat konyol. Mereka kadang tidur di kandang kuda, di atas pohon ala tarzan dan sebagainya. Cerita dan alur yang ia suguhkan selalu enak untuk kusimak. Dari kisahnya aku bisa sedikit mengikis kekhawatiranku ketika ia jauh dari jangkauan indraku.

Malam yang dingin ini juga, aku ingin mendengarkan ceritanya. Aku tidak hanya ingin berkomentar, namun juga ingin menyampaikan cerita klasik ala ibu rumah tangga yang kupunya. Namun hingga 9 menit 59 detik aku menunggu, ia tak kunjung bersuara.

"Jika kau lelah tidak perlu bercerita panjang hingga aku tertidur untuk malam ini. Beri aku beberapa patah kata saja, itu saja yang kuharapkan," pintaku dengan memelas.

"Katakan 'selamat tidur sayang'. Itu saja yang ingin kudengar," tambahku.

                      ***

Cahaya matahari masuk keruang tamu melalui celah jendela kayu tua yang sudah dimakan usia.

Cahaya yang lembut itu membuatku terbangun dari tidur. Baru kusadari jika aku tertidur di ruang tamu bukan di kamar.

Mataku menjelajahi setiap pojok ruangan untuk menemukan lagi sosok yang kudekap tadi malam. Namun tak bisa mataku menemukannya. Aku kecewa.

Apa tadi malam aku bermimpi? Lalu mengapa aku bisa tertidur di ruang tamu? Aku merasa bingung bagaimana aku bisa linglung begini. Padahal ini bukan pertama kalinya aku ditinggal mas Jono bertugas. Bahkan ketika aku mengandung Ria putri sulung kami mas Jono bahkan pergi selama 3 bulan lamanya. Semakin kalut negara maka semakin panjang juga jeda kami bersama.

Aku kembali mengingat kejadian tadi malam untuk memastikan segala rasa ganjal pada diriku. Tiba-tiba anakku Ria duduk dan memelukku.

"Ayah kemana?" Tanyanya dengan ekspresi yang selalu menghipnotisku. Ekspresi yang menjadi hiburanku dikala mas Jono bertugas.

"Ayah lagi bertugas sekarang. Besok atau lusa ayah akan pulang," jawabku meyakinkan.

"Ayah sudah pulang. Tadi malam ayah mengucapkan selamat tidur  padaku." Mulut Ria nyerocos

Darahku berdesir mendengar penuturan Ria. Apalagi pintu rumah masih terkunci dengan baik dan jika benar mas Jono datang bagaimana dia masuk. Aku berusaha menyangkalnya. Mungkin Ria bermimpi. Anak-anakkan memang sering bermimpi fantasi seperti itu. Apalagi ia sangat dekat dengan ayahnya. Sudah pasti karena rindu, ia memimpikan mas Jono. Tadi malam juga aku pasti bermimpi.

Aku tersenyum palsu dan mengganti topik pembicaraan untuk mengalihkannya. "Mana adek?"

"Masih tidur," jawabnya singkat.

"Ayo kita bangunkan adek. Nanti siang kita ke rumah mbak Sri di dekat pasar."

"Hore! kita kepasar!" Teriaknya kegirangan. Aku merasa lega bisa mengalihkannya meski hatiku masih merasa sedikit kalut.

Hampir pukul setengah sebelas siang, pekerjaan rumahku sudah hampir selesai. Rencananya setelah Dzuhur nanti aku akan membawa anak-anak ketempat mbak Sri. Mbak Sri sama sepertiku, dia juga istri Intelejen kaum republikan.

Saat aku hendak memulai makan siang terdengar suara mobil yang sangat familiar di telingaku, berhenti di depan rumah.

Perasaan gundahku seakan menyebul lagi kepermukaan. Setelah tenggelam ketika aku melakukan pekerjaan rumah hari ini.

"Ma, ayah datang!" Kata Ria dengan ekspresi kegirangan. Rio yang berada disampingnya juga tidak kalah kegirangan.
Aku tak menjawab pernyataan Ria. Jika mas Jono benar datang, itu tidak mungkin. Sebelum pergi bertugas dia mengatakan misinya akan berakhir pada akhir November. Ini baru tanggal 14 November 1946. Apa ada penggantian misi?kejutan ulang tahun? pikiranku kacau.

Ria meninggalkan tempat duduknya berhambur kedepan diikuti Rio yang tidak mau kalah dengan kakaknya.
Namun langkah kecil itu terhenti didepan pintu. Ria belum cukup mahir membuka pintu kayu rumah kami yang kadang macet. Hal itu membuat aku harus mengayun langkah menuju pintu.

Pintu terbuka. Kolonel Hasan tampak rapi dengan seragamnya berdiri menghadap ke arah kami. Kolonel Hasan adalah senior mas Jono di Sekolah Intelijen Militer Nakano dulu. Tapi beberapa bulan terakhir Kolonel dipindah tugaskan hingga mereka tidak bekerja di divisi yang sama lagi.

Untuk beberapa detik kami terpaku. "Bukan ayah," kata Rio dengan ekspresi kecewa.

Kolonel Hasan menghampiri kami. Ia memeluk Ria dan Rio lalu menoleh ke arahku dengan wajah bekunya. Aku tidak ingin berprasangka buruk atas kedatangannya.

Kolonel Hasan mengusap-usap rambut kedua anakku. Kemudian dia membagikan beberapa buah manisan pada kedua anakku. Anak-anak kegirangan.

"Ayah mana paman?" Tanya Ria dengan mulut penuh manisan.

Kolonel Hasan tersenyum. "Makan manisannya di dalam rumah saja. Paman ingin bicara pada ibu kalian dulu."

Ria dan Rio berlari kedalam rumah. Aku menatap Kolonel Hasan untuk mendapatkan jawaban atas kedatangannya. Drama bisu menyelimuti kami untuk beberapa saat.

"Apa maksud kedatangan Kolonel? apakah mas Jono menyuruh Kolonel untuk menjenguk kami?"

"Aku hanya ingin memberikan ini," katanya sambil menyodorkan sebuah buku saku yang kukenal. Ya, itu buku suamiku.

"Hadiah ulang tahun?"

Tanganku gemetar memegang buku itu. Di halaman pertamanya tampak tulisan rapi mas Jono tergores di sana.

"Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki. Jika hilang tidak akan dicari, jika mati tidak ada yang mengakui."

Kutipan indah para intelijen negara itu membuat dadaku sesak. Kutatap Kolonel Hasan. "Mas Jono ada di ruang tamu," kataku terbata

"Biarkan dia terus disana," jawab Kolonel Hasan tersenyum kecut.

"Dia akan selalu disana. Di ruang tamu menyaksikan kedua anaknya tumbuh dan akan menua bersamaku."

The end

Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang