Pt. 6 Bela

44 40 5
                                    

Bagiku dunia telah meninggalkanku. Setidaknya aku telah terkubur jauh di dalam memori orang yang mengenalku. Tidak ada lagi yang mengingat, menanyakan kabar dan bahkan menyapaku. Kau orang yang terakhir mengingatku sebagai gadis kecil yang selalu kekanak-kanakan.

Aku seakan hilang seperti debu di musim panas yang terkena gempuran hujan. Musnah. Seperti bintang ditutup kabut, aku lebih buruk dari itu. Aku hilang bersama bayangan dan asamu.

Setiap hari minggu aku berjalan di tepian kota di mana masih kulihat jelas bekas-bekas langkah kaki kita di sana. Tepat di tikungan menuju sekolah, pohon mangga tempat ayunan kita tergantung dulu semakin merana. Mungkin rindu canda tawa kita. Ia seakan bermuramdurja.

Saat kunaiki ayunan itu, engkau seakan ada di sampingku, tersenyum manis dengan rambut dikepang dua. Lama baru aku tersadar jika itu hanya bayangan masa-masa lampau yang tidak bisa kulupakan. Engkau masih ada dalam rekaman memori otakku.

Seperti rekaman sebuah film, kenangan-kenangan indah itu muncul di bangku ruang kelas kita. Kita bermain bersama, tertawa, dan bernyanyi lagu gembira. Saat itu kita benar-benar bahagia. Tidak ada beban yang ditanggung. Dunia berdamai bersama dengan pecahnya tawa kita.

Kedamaian, aroma, nuansa, dan simfoni kala itu membawaku jatuh pada kata rindu. Ingin kuulang lagi dan lagi kebersamaan kita di setiap pojok sekolah kita ini. Bangku-bangku kesepian, buku-buku tua, papan tulis kotor, dan sesapu tua di samping pintu kelas tampak merana. Sama dengan apa yang kurasakan kala menyusuri koridor demi koridor. Kelu.

Sudah hampir pudar ukiran nama kita di meja dekat jendela itu. BELA dan NAURA WAS HERE 2006. Aku tersenyum kecut membacanya. Kau tahu Bela, duniaku berhenti saat kau pergi.

Awalnya kupikir dunia ini begitu sempurna dan abadi. Namun kepergianmu membuatku menyadari seperti apa dunia itu. Dunia itu fana dan rapuh. Dunia itu butuh teman. Dunia juga kesepian.

Tiga tahun bersama, kita lebih dari saudara.
Pertama kali kita bertemu saat pendaftaran SMA. Lewat obrolan singkat yang hangat, kita menjadi akrab. Bela adalah gadis yang pintar. Bela pasti mengingatnya setiap kalimat perkenalan seperti di dalam buku pelajaran dasar bahasa inggris. Aku sangat senang mendapat teman seramah Bela.

Tanpa kusadari Tuhan semakin mengaitkan tali takdir di antara kami berdua. Takdir yang indah berujung luka. Luka yang tidak terduga seperti mimpi buruk.

Tahun-tahun kita lewati sembari saling merajut asa bersama. Kau adalah aku dan aku adalah kamu. Dunia hanya sebesar telapak tangan kita. Duniaku ada di genggamanmu begitu pula sebaliknya.

Hari itu hari Rabu tanggal 3 November. Hari itulah mimpi buruk itu bermula. Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Aku yang duduk dekat jendela seperti biasa selalu tergoda untuk menari di bawah hujan. Awalnya aku hanya bermain-main air hujan dengan tanganku saja. Tapi ketika suara bel panjang berbunyi, aku tidak bisa menahan hasratku untuk menikmati setiap tetes butiran hujan yang jatuh. Bagiku hujan adalah sebuah pesan Tuhan untuk manusia agar selalu berbahagia.

Kutarik tangan Bela menuju halaman sekolah. Bela tampak tidak bisa menolak karena ia juga suka hujan. Hari itu kami pulang terlambat. Kami menikmati masa remaja yang mulai usai. Dengan sebuah paku kecil Bela mengukir nama kami berdua di atas meja. Kemudian kami bermain ayunan seperti anak kecil. Mengingat kembali kenakalan-kenakalan konyol masa lampau yang membuat tertawa.

Jika ada yang bertanya kapan hari di mana aku merasa bahagia, maka aku akan menjawab bahwa hari yang indahku adalah hari itu. Hari ketika aku dan Bela bermain ayunan di tengah hujan dan aku mengikuti langkah kaki telanjangnya yang menginjak-injak genangan air sambil bersenandung kecil. Kami benar-benar bahagia kala itu.

Jika aku tahu hari itu rajutan takdir kami terkoyak, maka aku tidak akan melepaskan tangan Bela ketika di persimpangan jalan. Akan kuantar dia sampai kedepan pintu rumahnya. Tapi aku tidak tahu ketika Tuhan memutuskan ikatan kami. Aku tidak pernah tahu.

Hanya persekian detik tanganku lepas dari genggamannya, aku mendapat kabar bahwa Bela tidak akan pernah bisa menggenggam tanganku lagi. Hari itu aku bahagia, hari itu juga duniaku tiba-tiba berhenti.

Dengan seragam yang masih basah, aku berlari menuju rumah Bela untuk memastikan bahwa Bela baik-baik saja. Aku hanya bermimpi buruk atau berhalusinasi.

Tetapi tidak ada yang salah. Aku tidak bermimpi apalagi berhalusinasi. Bela benar-benar pergi untuk selamanya dan tidak ada lagi sehelai benangpun yang bisa merajut takdir kami. Semuanya berakhir ketika hujan reda. Bela pulang dijemput hujan. Hujan yang memisahkan aku dan Bela.

Semenjak Bela pergi, dunia menjadi sepi. Tidak ada bedanya antara siang dan malam. Semuanya gelap dan sunyi. Dunia benar-benar bisu. Hingga hari ini ketika aku kembali lagi ke sekolah setelah 9 tahun kepergian Bela, kesunyin itu merengkuhku begitu erat. Aku tidak berdaya melepaskan diri dari kesunyian itu. Selama 9 tahun pula aku menyendiri, menjauhi keramaian yang kuanggap sepi tanpa Bela.

Kulepas sepatuku ketika berjalan meninggalkan sekolah seperti yang kulakukan bersama Bela dulu. Tiba-tiba bayangan Bela menggenggam tanganku seperti terakhir kalinya. Aku tersenyum ketika bayangan itu tersenyum padaku. Rasanya begitu nyata.

"Berbahagialah. Berhenti mengikat dirimu sendiri pada takdir yang telah putus. Berbahagialah untukku, Naura," kata bayangan itu seraya melepaskan genggamannya dan menghilang.

Aku terpaku, haru dan pilu yang tidak tertahankan. Dadaku begitu sesak. Aku menangis sekerasnya dan berjanji pada diriku sendiri. Ini tangisan terakhirku untuk Bela. Karena hari esok aku akan berbahagia untuk Bela.

Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang