Hari libur kenaikan kelas telah tiba. Hari yang kutunggu selama setahun telah datang. Aku begitu bersemangat mengemasi barang-barangku. Setelah setahun berpisah dengan ayah akhirnya kami akan bersua juga.
Aku mengangkat tas dan kotak berisi oleh-oleh untuk ayah. Tak lupa akau membeli Amplang, kerupuk kesukaan ayah.
Mia diantar paman lebih dulu ke dermaga. Sedangkan aku masih menunggu giliran. Dari kejauhan nampak olehku Andrea menuju rumah.
"Sudah mau berangkat? Ayo! Biar kuantar."
Akhirnya aku diantar oleh Andrea menuju dermaga. Di sepanjang perjalanan dia memamerkan sebuah kamera baru pemberian pamannya.
Sebelum berpisah, kami mengambil beberapa foto di dermaga itu. Semburat awan senja menjadi latar belakang foto kami sore itu. Aku tidak pernah tahu jika itu akan menjadi momen terakhir aku melihat Andrea. Senyumnya tidak kalah indah dengan senja kala itu. Dengan penuh semangat ia berjanji akan mencetak foto kami dengan foto warna. Semuanya sangat normal hingga aku hanyut dalam skenario Tuhan yang tidak pernah kupahami. Ketika kapal yang kutumpangi menjauh, lambaian tangan Andrea masih kulihat hingga tubuhnya hilang ditelan jarak batas pandangan mataku.
Antara sedih dan senang. Entah perasaan yang manakah lebih dominan menguasai perasaanku kala itu. Sedih rasanya meninggalkan Andrea sendiri selama liburan. Selama ini kami selalu bertemu di sekolah kemudian melakukan banyak hal bersama. Rasanya aku kehilangan sosoknya di kala libur. Aku sangat percaya diri, hanya dengan melihat tatapannya di dermaga tadi jika ia juga merasa sedih dengan kepergianku itu. Tapi aku juga merasa senang karena akan segera bertemu dengan ayah. Aku sudah bisa membayangkan ayah dengan baju kaos yang di saku kirinya berisi sebungkus rokok murah di sakunya berdiri menunggu kedatangan kami. Hal yang menyenangkan namun aku harus berhadapan dengan gelombang waktu yang membawa rindu. Rindu akan kehadiran dan sosoknya.
Liburan berakhir dengan cepat, aku kembali dan mendapati sebuah kotak titipan Andrea.
Aku penasaran dan langsung melihat kotak itu. Saat kubuka, sebuah mesin ketik di dalamnya dan sepucuk surat. Pertanyaan menyeruak di kepalaku. Andrea mengetahui jika aku akan pulang hari ini, tapi mengapa ia harus memberikan barang ini sebelum kedatanganku? Mengapa dia tidak langsung saja memberkannya padaku? Setelah kubuka suratnya, kutemukan sebuah jawaban dan sebuah kenyataan yang tidak ingin kuterima. Andrea sudah menghilang. Isi surat itu berkata begitu.Ketapang, 30 juni 1994
Aku ingin melihat senyummu setiap hari, menghitung detak jantung dan kayuhan sepedaku, mencium aroma kota yang berbeda dan mendengar irama nyanyian burung yang mengolok-olokku. Aku egois tidak ingin mengakhiri perasaan konyol yang mendera batinku setiap hari. Jika aku mengatakan cinta, takutnya hal itu mengusirmu. Aku jelas tidak mau. Kau punya ketenangan yang tidak bisa kuusik. Aku juga tidak ingin membuatmu ragu. Biarlah kunikmati sesuai kesanggupan dan batasanku. Agar kau tetap bersinar lebih indah dari senja yang kita saksikan di dermaga. Tapi, kali ini aku tidak bisa lagi melihat senyum itu. Detak jantungku juga tidak akan bisa kuhitung lagi. Senang bisa mengenalmu dalam hidupku. Akan selalu kuingat senyummu kala itu. Jika aku tahu di dermaga terakhir kalinya kita akan bersua, tentu akan kulanggar batasanku dan kuambil ribuan potretmu agar tak sedetikpun aku bisa melupakanmu. Maaf hanya mesin ketik ini yang kau temui. Aku ingin kau menulis semua ceritamu agar aku tahu mengenai apa yang selama ini ingin kuketahui tentang dirimu.
Yang mengagumimu.
Andrea Tan.
Aku kerenyuh pilu melihat beberapa lembar foto warna yang tergeletak di atas mesin ketik. Foto yang kami ambil di kala senja terakhir di dermaga.
Aku berlari mengambil sepeda dan mengayuhnya secepat yang aku bisa. Tujuanku adalah rumah Andrea yang depannya merupakan toko kacamata. Air mataku begitu saja meluncur tanpa bisa kutahan lagi. Kuseka semampuku sambil terus mengayuh sepeda secepatnya.
Aku termangu sambil turun dari sepedaku. Deretan ruko di depanku tinggal puing-puing bekas dilalap api. Aroma asap masih menusuk hidung. Semuanya habis tanpa sisa. Tinggalah lukisan memoriku lagi yang menggambarkan bentuk-bentuk bangunan itu.
Andrea menghilang tanpa sisa. Kecuali secuil ingatanku yang akan tersimpan selamanya. Dengan gontai aku mengayuh kembali sepedaku. Duniaku terasa mati. Kota ketapang juga telah mati bagiku. Aku merasa seperti aku adalah satu-satunya makhluk yang masih hidup di bumi. Semua orang sudah pindah ke planet lain. Semuanya sunyi senyap. Matahari seakan enggan menyinarinya. Bintang dan bulan tidak dapat lagi kulihat di waktu malam. Aroma kota juga kali ini tidak bisa kuendus. Orang-orang yang berlalu lalang hanyalah ilalang yang bergoyang-goyang ditiup angin, dan aku di tengah-tengahnya. Tidak tahu hendak kemana semuanya hanyalah tampak padang yang sunyi dan luas. Sebatas mata memandang. Aku tidak menemukan satu manusiapun. Aku berlari, terus berlari namun padang ilalang itu seperti tidak bertepi. Duniaku kini hanyalah padang ilalang yang luas sebatas mata memandang. Dan Mia adalah seekor burung yang kadang datang mengajak dan menuntun jalanku. Namun tetap saja aku tidak bisa keluar dari himpitan rerumpunan ilalang itu.
Rotasi bumi berhenti, angin kini hanya terus menyanyikan lagu rindu dan kehilangan tanpa henti. Rerumputan mengejekku tanpa simpati. Aku terkurung dalam ruang nostalgia yang menyiksa hati. Hari-hariku kulalui tanpa semangat sedikitpun. Berjalanpun bahkan gontai. Seakan tulang dan daging saling melepaskan. Gula bahkan kurasa hambar. Bunga semuannya sama warnanya. Semua orang berwajah sama. Asing.
Mia turut bersimpati terhadap masalah asmaraku yang kandas sebelum berlabuh. Mia mencoba merayu dan menghiburku. Mia rela belajar bersepeda agar bisa menggoncengku ke sekolah. Selama ini aku selalu menggoncengnya karena Mia tidak bisa bersepeda. Aku sudah tidak punya hasrat bahkan untuk mengambil satu kayuhan sekalipun.
"Seperti inikah kau menghianati mimpi dan ayahmu?" Mia memarahiku yang dianggapnya terlalu berlebihan menanggapi kepergian Andrea. "Dia bukan siapa-siapamu dan yang pasti impian ayahmu harus kaupenuhi. Kalau kau seperti ini, terus bagaimana bisa kau lulus dengan baik," lanjut Mia sambil berusaha mengendalikan sepedanya.
Apa yang dikatakan oleh Mia semuannya benar. Namun hati dan otakku sekarang tidak bisa bekerjasama dengan baik. Otak mengajak kompremi dengan baik namun hati terus mengungkit sebuah rasa yang merasa sunyi.
"Kau mendengar semua yang aku katakan, kan?"
"Mengayuh saja dengan benar." Aku mengalihkan pembicaraan karena kami sudah jatuh tiga kali sebelumnya dan rok ku sudah sobek.
"Tenang saja, aku sudah agak mahir sekarang."
Belum lama Mia bicara seperti itu sepeda pun oleng dan tidak bisa dihindari lagi. Kami terpental ke sebuah genangan air. Aku hanya menarik nafas yang selama ini terasa begitu berat. Aku sudah kehilangan indra perasaku sebelumnya hingga berani digonceng Mia yang seperti anak burung baru belajar terbang labuh. Secara akal sehat aku tidak akan mungkin berani. Tapi kenyataannya ketika kehidupan nyataku tersangkut pada ilusi dan imajinasi tentang dia semua akal sehatku pergi.
Kakiku berdarah. Mia tak henti meminta maaf dan berjanji untuk lebih hati-hati. Rantai sepeda kami lepas. Mungkin sangat parah jatuh yang kami alami namun aku tidak begitu bisa mengingatnya. Kami akhirnya memutuskan untuk mendorong saja sepeda itu dari pada harus memperbaikinya dulu dan jatuh lagi.
Aku telah jatuh terlalu dalam dan masih menunggu kiriman-kiriman lagu dari Andrea di radio seperti hari indah yang telah lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)
Ficțiune generalăSemua cerita berawal dari sini Aku dengannya Seperti air dan api yang tak bisa bersatu Terlalu serakah rasanya jika ku memaksakan