Saat aku merindukan ayah, aku hanya bisa melihat gambaran diri ayah yang tertuang dalam sebuah potret hitam putih di meja belajarku. Malam semakin larut, yang terdengar hanya suara binatang malam yang membuat pilu. Sisi teman sekamarku sudah tertidur pulas dari tadi.
Namun pikiranku masih jauh mengembara menembus hutan belukar, rawa-rawa, sungai-sungai hingga memasuki teluk-teluk sampai memasuki sungai kecil di depan rumahku. Baru dua minggu berada di sini aku sudah merindukan rumah.Dua minggu juga aku hanya bisa memandang potret itu untuk melipur rinduku pada ayah. Dua minggu ini juga hatiku kosong karena potret itu tidak bisa menghilangkan secara utuh kerinduanku.
Kurengkuh potret ayah dan aku dalam balutan foto warna hitam putih itu. Hatiku teriris. Mataku juga berontak. Butiran bening yang hangat itu menyemarakan suasana hatiku. Kucoba menyembunyikan isak dalam keheningan malam. Takut ada orang yang mendengar. Terutama Sisi, yang hanya berjarak semeter dariku."Ayah, aku ingin pulang," jeritku dalam hati.
Namun potret ayah tetap kaku. Senyum yang tergores disana juga diam. Membisu.Aku ingin ayah menjawab meski jawabannya tidak memuaskan hatiku. Cukup satu kalimat. Satu kalimat lagi yang kuinginkan meluncur dari mulut ayah. Jika tidak bisa juga, cukup satu kata, hanya satu kata ayah! Katakan "anakku" itu saja yang ingin kudengar kali ini. Maka aku akan belajar dengan benar mulai sekarang. Menamatkan SMA-ku dengan baik, dan membuatmu bangga. Membuatmu puas. Membayar semua usaha dan kerja kerasmu untukku. Aku hanyut dalam larutan perasaan yang tidak bisaku bendung lagi. Biarkan aku menangis sepuasnya sekali lagi. Iya. Sekali lagi untuk menumpahkan semua perasaan beku yang menghimpit dadaku.
Perasaan yang bernama rindu itu membelenggu setiap persendian dan tarikan nafasku.
Pikiranku menerawang jauh saat aku dan ayah mengambil potret hitam putih itu. Potret yang
mengingatkan aku pada senja di langit kampungku.Sore itu, semarak awan berwarna orange membentang di upuk barat. Menambah kesyahduan sore kala itu. Aku berada di belakang sambil memeluk tubuh kurus ayah. Ayah dengan senyum khasnya mengembang sambil mengayuh sepeda ontel kebanggaannya. Sepeda yang usianya lebih tua dariku itu begitu terawat. Lampunya begitu mengkilat karena ayah selalu mengelapnya
setiap pagi sebelum mengantarku ke sekolah. Belnya masih berfungsi dengan baik. Suara yang sangat kurindukan selain suara serak ayah.Kerikil-kerikil kecil yang menyaksikan kami kala itu sepertinya ikut merasakan euforia yang kami nikmati. Aroma tubuh ayah yang didominasi bau tembakau semerbak diterpa angin yang berlawanan. Kekhasan aroma itu memiliki makna dan rasa tersendiri untukku. Special. Tidak ada aroma yang lebih kusukai dari aroma tubuh ayah. Tidakakan pernah ada. Tidak. Walau kasturi sekalipun. Suara napasnya yang mulai berat terdengar indraku saat sepeda yang kami kendarai melewati jalan yang menanjak. Tanganku semakin erat memeluk pinggangnya. Ayah tersenyum.
"Kau takut?"
"Tidak. Bahkan ditanjakan yang lebih tinggi selanjutnya," kataku, sambil tersenyum.
Diturunan ayah memintaku untuk memejamkan mata jika merasa takut. Tapi aku tidak pernah melakukannya karena selama bersama ayah aku tidakakan pernah merasa takut. Setelah melewati tanjakan terakhir ayah bernapas lega. Kayuhannya sudah mulai terasa santai. Aku melepaskan tanganku yang tadi melingkar erat di pinggangnya. Kuulurkan tangan menyentuh rerumputan di kiri kanan jalan. Ku ingin mereka tahu dan menjadi saksi kebersamaan kami.
Di kiri kanan jalan daun kering berguguran mengucapkan selamat tinggal pada ranting dan pohon. Dendolion kecil juga melayang-layang jauh meninggalkan pohonnya. Mengucapkan selamat tinggal dan terbang merayakan kebebasan. Semburat jingga di langit mengambil potret
terindah kami kala itu."Ambil foto kami, Tong," pinta ayah pada Atong. Pemilik studio foto kecil itu.
"Ayuna, bulan depan tamat SMP. Rencananya mau lanjut SMA ke kota," lanjut ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)
General FictionSemua cerita berawal dari sini Aku dengannya Seperti air dan api yang tak bisa bersatu Terlalu serakah rasanya jika ku memaksakan