Simon mengendap-endap menuju pintu keluar agar ayahnya yang tidur di atas sofa tidak terbangun. Semalaman ayahnya mabuk dan ketika datang langsung memukulnya. Simon merasa was-was ketika melewati ayahnya. Jika sang ayah terbangun maka ia akan dihajar ayahnya lagi.Entah sejak kapan dan mengapa ayahnya membenci Simon. Tidak ada yang memberi tahunya. Mungkin sejak ia lahir ke dunia ini atau mungkin sebelumnya.
Simon merasa lega ketika ia sudah berada di luar rumah. Maafkan Simon, ayah. Simon menghela nafasnya kemudian berlari sekencang yang ia bisa.Selama ini ia memang sudah merencanakan untuk kabur dari rumah. Tujuannya adalah rumah neneknya di Manchester.
Dikuatkannya cengkraman tangannya pada tali ranselnya agar tidak mengganggu saat ia berlari. Semuanya terasa menakutkan. Bahkan detak jantungnya dan kelebat orang berjalan begitu kuat membuat jantungnya berdebar-debar.
Mobil berlalu lalang di depannya, Simon berhati-hati takut salah satunya adalah mobil ayahnya yang menyusulnya. Detak jantungnya berdesir ketika melihat mobil yang mirip dengan mobil ayahnya. Hal itu membangkitkan semangatnya untuk terus berlari lebih kencang dan menghilang.Sebenarnya Simon sangat menyayangi ayahnya jika saja sang ayah membuka sedikit hatinya.
Simon membenci sikap ayahnya yang kasar namun ia tetap mencintai pria itu. Simon kembali mengingat memori-memori bersama ayahnya pada setiap langkah yang ia ambil.Seingat Simon ayahnya sudah kasar dan membencinya sejak kecil. Ayahnya memanggilnya anak yang membawa sial dan orang yang telah membunuh Rose. Rose meninggal saat melahirkan Simon. Mungkin itulah sebabnya ayahnya sangat membenci anaknya itu.
Meskipun ayahnya sering memukulnya, ayah tidak pernah meninggalkan maupun mengusir Simon. Kadang saat malam di musim dingin, ayahnya memberinya selimut yang hangat dan menghidupkan perapian.Simon sangat bahagia ketika ayahnya merapikan selimut dan mengucapkan selamat tidur untuknya. Namun kali ini, Simon benar-benar lelah dengan sikap ayahnya yang berubah-ubah. Simon bahkan tidak tahu kapan ia harus merasa aman dan takut.
Sikap ayahnya berubah secepat hembusan angin saja. Demi mimpi dan harapan akan masa depan yang lebih baik, Simon akan pergi. Pergi meninggalkan ayahnya.Ayahnya menyuruh Simon untuk melakukan pekerjaan rumah, memakinya dan memukulnya ketika ia sedang mabuk. Ayahnya bahkan kadang melarang Simon pergi ke sekolah. Padahal Simon sangat menyukai sekolah. Di sana Simon bisa melupakan rasa sakit dan memar-memar di tubuhnya. Di sekolah Simon suka bermain bola, Simon ingin menjadi pemainbola profesional seperti idolanya, agar ia bisa membuat ayahnya bangga dan punya banyak uang untuk mereka hidup berdua. Di sekolah juga ada Alice gadis yang cantik, pintar dan baik hati yang selalu membantu Simon saat ia menghadapi kesulitan maupun saat di ganggu si peganggu Jack. Jack adalah anak yang jahil dan suka mengganggu Simon. Anak itu memiliki sifat yang kasar seperti ayahnya.
Simon semakin berdebar ketika menginjakan kakinya di stasiun kereta api. Ia baru tersadar jika saat itu bertepatan dengan jam anak-anak pulang sekolah. Ia sedikit khawatir jika ia bertemu dengan Jack.
Seketika rasa khawatirnya sirna karena kini Simon membayangkan ia dengan jersey merahnya berlari gagah memasuki lapangan hijau dengan diiringi tepuk tangan yang bergemuruh dari seluruh sisi stadion. Di sana berdiri Alice, ayahnya dan juga nenek yang tersenyum bangga melihatnya berlaga. Sungguh kehidupan yang sempurna. Aku akan mengajak ayah dan nenek pergi kemanapun ia pergi berlaga. Di seluruh Eropa maupun di bagian dunia lainnya. Tapi, nenek sudah tidak kuat lagi pergi jauh, aku akan membelikannya hadiah saja, pikir Simon sambil tersenyum membayangkan betepa senangnya nenek mendapat hadiah dari luar negeri. Nenek pasti tidak henti mengusap kepalanya sama seperti ketika ia mendapat juara lomba mengeja waktu kecil dulu.
Ayah tentu saja tidak akan pernah memukulnya lagi. Ayah tidak perlu mabuk-mabukan untuk melupakan semua beban hidup yang ia tanggung sekarang. Ayah juga tidak perlu bekerja di luar pada musim dingin. Ayah sering terkena flu karena kekebalan tubuhnya sering menurun saat cuaca dingin.
Ayah hanya perlu duduk di dekat perapian sambil menikmati minuman hangat yang dibawa seorang pelayan berseragam rapi.Bila musim semi datang ia akan membeli sekeranjang bunga terbaik untuk ibu. Ibu pasti akan tersenyum dari surga melihatnya yang semakin tampan. Jack tidak akan berani memukulnya lagi. Anak-anak yang suka mengolok-oloknya akan menundukan kepalanya dan meminta maaf padanya. Dan gadis-gadis yang selama ini memandangnya aneh akan menyukainya. Hal itu pasti yang akan membuat Alice marah. Karena Alice memintanya untuk tidak mendekati gadis lain selainnya, karena Alice adalah satu-satunya gadis yang boleh mendekatinya.
Sesampainya di peron, Simon duduk jauh dari keramaian.
Suara pengeras suara bertalu-talu membuat Simon sedikit takut. Entah apa yang ia takutkan, Ayahnya atau Jack? Yang jelas Simon selalu gugup saat melihat beberapa orang di peron yang memiliki postur tubuh seperti keduanya. Simon semakin menenggelamkan dirinya pada kursi sambil mencari kekuatan dalam dirinya sendiri agar tidak terlalu takut untuk melangkah pergi ke tempat yang menjanjikan masa depan yang lebih cerah itu.Beberapa anak seumuran Simon tampak berlalu lalang mencari tempat di peron dan bahkan ada yang saling dorong disertai gelak tawa temannya. Mereka adalah anak sekolahan yang hendak pulang. Simon memandangi mereka dengan penuh rasa iri, tapi, seketika senyumnya mengembang saat indra pendengaranya mendengar pengeras suara mengatakan bahwa kereta yang menuju Mencister sebentar lagi akan berangkat. Itu artinya sebentar lagi Simon juga akan seperti anak itu. Iya, jika ia tinggal bersama nenek, Simon bisa bersekolah lagi. Memakai pakaian yang bersih dan rapi, membaca buku, bertemu banyak teman. Itu sangat mengagumkan.
Simon beranjak dari tempat duduknya untuk menuju kereta, tetapi sosok yang tidak diinginkannya muncul di depannya."Ayah."
Pria itu menyeringai mendekat, Simon menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk menghindari Ayahnya.
Namun malang untuk Simon. Ayahnya memiliki sepasang kaki yang panjang hingga hanya beberapa langkah saja, tangan kekarnya sudah mencengkram hoodie Simon."Aku tidak mau pulang," kata Simon sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman ayahnya.
"Kau ingin meninggalkan Ayah seperti ibumu, anak sialan?"
"Aku ingin menjadi pemain bola yang hebat dan membuat ayah bangga."
"Jika kauingin membahagiakan ayah, kau cukup berdiam diri di ruangan bawah tanah, paham. Kau telah membunuh ibumu, kaupikir kaupantas untuk mendapatkan hal itu?"
"Aku bukan pembunuh. Bukan aku yang membunuh ibu. Aku juga sangat mencintai ibu," kata Simon sambil menangis.
"Bohong," kata Ayahnya sambil melayangkan pukulan yang membuat Simon terjerembab. Simon kecil berusaha untuk bangun namun pandangannya remang-remang dan kemudian menjadi gelap. Suara pengeras suara kembali terdengar telinganya, kereta menuju Manchester telah berangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)
Aktuelle LiteraturSemua cerita berawal dari sini Aku dengannya Seperti air dan api yang tak bisa bersatu Terlalu serakah rasanya jika ku memaksakan