Pt. 3 Untuknya yang tak Kembali

93 52 37
                                    

Jakarta kembali di guyur hujan. Seluruh jalan basah. Menggigil. Pemilik toko di pinggir jalan memilih untuk menutup sebagian pintu mereka. Para pejalan laki dibungkus plastik warna-warni menerobos hujan. Payung-payung sedang mengalami ketenaran di musim penghujan begini. Desember dan hujan sudah seperti pasangan yang tidak terpisahkan. Di blok-blok kecil di kawasan elit semuanya basah. Dipemukiman kumuh air menggenang membuat danau kecil yang kotor. Jalanan di kawasan rendah kini dipenuhi air membuat para pengendara kesulitan. Tak terkira serapahan pengendara yang kendaraannya mendadak mogok di tengah genangan air. Ditambah kulitnya yang mengeriput terkena air hujan menambah tekanan pada mereka.

Aku mungkin adalah satu-satunya orang yang menyukai musim penghujan. Begitu pula sore ini. Aku duduk di pojok toko buku tua ditemani beberapa buah buku di atas meja.

Meja kayu itu sudah begitu tua. Posisinya tidak berubah ketika sepuluh tahun lalu aku datang ke toko ini. Tidak ada yang berubah. Rak-rak bukunya, aroma ruangan ini serta jam tua di dekat meja penjaga toko ini. Yang berubah hanyalah wajah pemilik toko ini yang semakin mengeriput dimakan usia. Waktu itu toko ini merupakan toko buku yang besar. Namun semakin banyak musim yang lalui dan bertambah majunya zaman, toko buku ini menjadi kecil dan terpencil diapit bangunan-bangunan pencakar langit.

Hanya toko ini yang tidak berubah. Sama sepertiku yang tidak mengubah haluan perasaanku padanya. Namun yang kutakutkan dia tidak bisa menemukan toko buku ini lagi. Toko buku ini dan aku seakan sama-sama menunggunya.
Bila hujan tiba di bulan Desember. Aku akan pergi ketoko ini berharap bisa bersua lagi dengannya. Meski dia bukan yang dulu lagi setidaknya kursi kosong yang kedinginan mendapatkan kembali kehangatan dalam kedinginan ini. Hari-hariku di musim hujan selalu semu. Menatap air yang jatuh berderai dan menghela nafas saat pintu tua berderit di dorong pengunjung. Pengunjung setia itu bukan dia. Dia telah lama menghilang di balik pintu itu. Pengunjung yang selalu kutunggu.

Hujan hari ini sama dengan hujan kemarin yang membawamu mengenalnya. 19 Desember 1999 kami bertemu di sini. Dibalut suasana dan dinginnya Desember. Aroma hujan yang kucium adalah dirinya. Dia masuk ke dalam toko ini dengan seragam sedikit sembab. Tas selempangnya diletakan di atas meja tempatku membaca. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menuju rak buku. Dia menyusuri setiap rak namun tidak mengambil satu bukupun. Ketika hujan mulai reda dan aku menutup buku yang kubaca dia malah bergegas menghampiriku.

"Itu buku yang aku cari."

Aku terdiam beberapa saat sambil melihat buku ditanganku yang dia tunjuk.

"Bolehkah aku membacanya sebentar? Tidak akan lama. Hanya untuk menjawab beberapa soal saja." Dia memelas.

"Sebentar saja, ya."

"Baik," katanya bersemangat. Semangat itu masih bisa kurasakan dan masih kuingat dengan jelas. Ketika ia. menyambut buku dari tanganku tampak kelegaan yang teramat sangat. Sepertinya ia sudah kemana-mana mencari buku itu. Hingga akhirnya ditemukan di sini. Di tanganku.

Aku duduk membeku menunggunya yang sibuk dengan salinannya. Sesekali aku melirik tulisan tangannya. Jelek sekali tulisannya pikirku. Kami sungguh tidak saling bicara untuk beberapa menit. Diam dan bermonolog sendiri.

Hingga akhirnya hanya kami berdua lagi pengunjung di toko itu. Aku sudah mulai gelisah takut ibu khawatir karena aku pulang terlambat. Dia sepertinya paham.

"Sudah mau pulang?"

"Selesaikan saja tugasmu jika belum selesai. Aku akan menunggu."

"Sepertinya aku salah. Catatannya tidak akan selesai dalam waktu cepat." Tampak penyesalan dan kecewa melukis wajahnya.

"Bolehkah aku pinjam sehari saja. Akan kukembalikan besok di sini."

Awalnya aku ragu, karena ini pertama kalinya kami bertemu. Bagaimana aku bisa mempercayainya? Lagipula aku belum selesai membaca buku itu. Namun rasa kasihanku padanya membuatku memberikan jawaban di luar logikaku.

Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang