Terminal mulai lengang saat malam semakin larut. Ini adalah malam yang kesekian kalinya Sutioso menunggu kedatangan anaknya dengan perasaan kecewa. Sudah lima tahun terakhir, Sutioso selalu menunggu di terminal kota, berharap anaknya termasuk dalam ribuan penumpang bus yang mudik lebaran ke kampung halaman. Tapi, Darto anaknya tidak pernah muncul.
Sutioso tidak pernah lelah menunggu meski panasnya matahari memanggang tubuhnya yang sudah mengerisut itu. Bila malam mendapatkan giliran, dinginnya sampai ke tulang. Namun, keteguhan Sutioso tiada tandingnya, meski kini raut wajahnya selalu menggoreskan kerinduan
pada anak semata wayangnya yang sudah tidak ada kabarnya itu.Rambutnya yang mulai di semarakan oleh warna putih, kadang membuat banyak penumpang bus iba. Beberapa dari mereka bahkan ada mengulurkan uang receh padanya.
"Maaf, saya bukan pengemis. Saya menunggu ke datangan putra saya," ujarnya seraya mengembalikan uang dari penumpang bus.
Mungkin karena fisiknya yang sudah renta dan penampilannya yang aut-autan karena naik ke setiap bus yang datang, itulah yang membuat tampilannya sangat kontras dengan pengemis.
Satu jam setelah bus terakhir datang, harapan Sutioso semakin tipis jika anaknya pulang tahun ini. Dengan berat hati ia melangkah pergi meninggalkan terminal diiringi rintik hujan yang mulai turun. Langit yang gelap seakan gambaran jelas suasana hatinya saat itu.
Kini, di sepanjang jalan hanya tampak remang-remang lampu jalan yang membuat malam itu semakin melankolis. Sutioso berjalan dengan gontai membawa rasa kecewanya.Lebaran kali ini akan ia jalani tanpa putranya lagi. Ia bahkan lupa, kapan terakhir kali merayakan lebaran bersama. Sudah lama sekali. Mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu, saat Darto berusia 9 tahun. Ah, sudah lama sekali momen itu. Ia bahkan sudah lupa bagaimana gambaran wajah putranya. Mungkin anaknya sudah menjadi pria yang tampan dan gagah sekarang. Mengungat usia Darto sudah menginjak tiga puluh.
Sutioso hanya bisa menyesali waktunya yang telah ia buang dengan sia-sia, tanpa mengikuti tumbuh kembang anaknya. Kini ia terlalu tua untuk memperbaiki kesalahanya di masa lalu.
Sebuah toko sepeda di pinggir jalan membuatnya terhenti sejenak. Dulu, ia pernah berjanji pada anaknya untuk membelikannya sepeda. Tetapi, janji itu dengan mudahnya ia ingkari. Melihat toko itu, Sutioso menyadari bagaimana perasaan anaknya dulu. Ia menyeka ujung matanya.Kata para tetangganya, anaknya setiap kali lebaran akan tiba, Darto selalu menunggu ayahnya pulang. Darto selalu semangat menuju terminal dengan pakaian terbaiknya dan mengatakan jika ayahnya akan datang serta akan membelikannya sepeda. Hingga setelah lebaran berakhir
pun, Darto tetap pergi ke terminal. Kini Sutioso merasakan apa artinya menunggu, bagaimana rasanya, dan jemu karena menunggu itu seperti apa. Ia pun yakin jika Darto juga pernah berdiri di tempat ia berdiri sekarang. Di depan toko sepeda.
Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan seberapa lama Darto menunggunya pulang dulu.Masa mudanya dulu membuatnya berpikir jika kesenangannya lebih penting dari apapun. Termasuk mengesampingkan anaknya. Ia tidak pernah berpikir jika rindu pada Darto akan menyentuh hatinya ketika tua menyapa. Anak lebih dari apapun baginya sekarang. Hal yang tidak pernah sekalipun ia pikirkan dulu. Jika ada masa ikatan darah itu saling ingin merasakan kehangatan di saat kedinginan.
Dirinya yang sudah senjapun tidak bisa menyalahkan Darto dengan hubungan yang buruk itu.Dialah orang yang memulai membuat jarak antara keduanya. Dia juga yang tidak tahu jika jarak yang ia ciptakan itu akan semakin besar seiring berjalannya waktu. Dia juga yang mengabaikan surat-surat Darto, janji-janjinya, dan kasih sayangnya yang seharusnya ia curahkan pada anak semata wayangnya itu.
Tapi, ia malah meninggalkan Darto dengan neneknya yang sudah tua saat itu. Dia bahkan tidak pernah menjenguk, mengirim uang, bahkan membalas surat anaknya. Kini tinggalah penyesalan yang semakin memuncak di dadanya.Lampu toko mulai dipadamkan oleh pemiliknya, Sutioso kembali mengayun langkah kakinya yang semakin mengecil. Tubuhnya menggigil dibalut pakaiannya yang semakin sembab.
Gerimis belum juga menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Gerimis itu seakan mengikuti dan mengantarkan langkah kaki Sutioso pulang.Dalam keremangan malam, langkah yang lain mengikuti langkah Sutioso yang berat. Langkah itu hanya bisa mengambil jarak yang tidak bisa Sutioso sadari. Langkah itu selalu mengikutinya selama ini. Hanya saja langkah itu tidak pernah mengambil jarak yang lebih dekat. Langkahnya selalu terhenti ketika langkah Sutioso sampai di persimpangan.
Sebenarnya Darto selalu datang ke kotanya, hanya saja ia tidak pernah menggunakan bus.
Baginya, terminal itu terlalu menyedihkan untuknya datangi kembali. Tapi, Sutioso terlalu lugu beranggapan Darto akan datang menggunakan bus, karena ia berpikir Darto masih seperti Darto kecil dulu yang tidak berani naik pesawat terbang.
Sebenarnya, Darto ingin sekali berjumpa dengan ayahnya yang selalu ia tunggu selama belasan tahun. Namun, lelaki yang berjalan di depannya kini, di rasanya begitu asing. Entah apa yang membuatnya merasa seperti itu. Yang ia tahu, langkahnya tidak bisa mengambil satu langkah
lagi untuk melangkah menuju persimpangan rumahnya dulu.Ia tidak memiliki keberanian untuk menyapa ayahnya. Pita suaranya seakan tidak berfungsi ketika ia hendak memanggil pria itu. Ia hanya bisa memandang dari jarak yang bisa ia ambil.
Melihat sosok yang sudah semakin ringkih itu masuk menuju pekarang rumah kemudian menghilang ditelan pintu rumah yang reot.Untuk beberapa saat Darto hanya memandangi rumah tempat ia dibesarkan oleh neneknya yang diterangi lampu yang hanya remang-remang.
Lampu itu sudah begitu tua lebih tua dari usianya kini. Nenek bahkan sudah lama meninggal, Darto semakin berat untuk kembali kerumah itu. Ia tidak ingin terperangkap dalam kenangan-kenangan masa lalu yang membuatnya pilu. Kemudian ia mengambil langkah menjauh dan kembali lagi pada lebaran tahun berikutnya.
Langkah Sutioso mulai meninggalkan persimpangan, langkah Darto di belakangnyapun mulai mengecil. Perpisahan kini semakin dekat. Hati Darto semakin gamang, seperti kegamangan yang telah lalu. Keinginan Darto untuk menyapa ayahnya kini semakin membuncah di dadanya.Sutioso kini memasuki pekarangan rumah yang sudah tua dan tidak terawat. Darto ingin berlari kearahnya, memeluknya dan mengatakan jika ia sangat merindukan ayahnya seperti dua puluh tahun yang lalu. Masih sama seperti saat ia menunggu ayahnya di terminal dulu.
Ia lebih merindukan ayahnya dari pada keinginannya akan sepeda. Ia tidak menunggu ayahnya untuk membelikannya sepeda, tapi menginginkan kedatangan seorang ayah untuk mengajarkannya arti kehidupan.
Kini, Sutioso sudah menghilang di balik pintu beberapa menit yang lalu.Darto memberanikan diri untuk mendekati daun pintu tua yang sangat dikenalnya itu. Dengan pelan, tangannya
mengetuk pintu itu. Sutioso tua muncul dengan wajah kakunya dari balik pintu. Darto kembali dikuasai rasa gugup. Ia kehilangan kata-kata menatap pria yang ia tunggu di terminal dulu.
Wajah itu tidak seperti yang ia bayangkan. Sutioso juga heran dengan kemunculan Darto.
Dia bahkan tidak bisa mengenali wajah di depannya. Gambaran Darto yang ia gambar dipikirannya berjauhan dengan apa yang ia lihat kini. Hanya perasaan seorang ayah yang dengan halus memberinya keyakinan jika yang di depannya itu adalah anaknya."Jangan menunggu aku lagi tahun depan," kata Darto seraya membalikan langkahnya menuju jalan yang ia lewati tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Senja Berwarna Jingga(Tamat)
General FictionSemua cerita berawal dari sini Aku dengannya Seperti air dan api yang tak bisa bersatu Terlalu serakah rasanya jika ku memaksakan