Leo
Setelah mengantar Felicya kontrol ke dokter, kami memutuskan untuk singgah sebentar ke taman kota, bersantai sambil mengobrol dan makan snack fish and chips. Sore ini taman kota begitu ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan, mereka tampak menikmati hari minggu ini dengan berjalan disekitar taman. Bahkan anak-anak terlihat bermain bola diujung sana, ada pula yang bermain kejar-kejaran.
Omong-omong, tadi dokter mengatakan kalau kaki Felicya sudah baik-baik saja, mungkin sekitar satu atau dua hari perban dikaki Felicya sudah bisa dilepas.
"Rasanya lega sekali ketika melihat pemandangan diluar seperti sekarang." ujar Felicya disela-sela obrolan kami.
Aku tertawa pendek. "Makanya jangan berdiam diri dalam kamar saja!" ledekku.
"Sebenarnya aku itu anak rumahan, makanya aku tidak tahu cara memulai sesuatu dengan orang lain."
"Oh, pantas saja, kau hanya dekat dengan beberapa orang."
"Memang kelihatan, ya?"
"Tentu saja!" kataku. "Mungkin kau punya banyak teman, tapi kau tidak punya seorang teman yang bisa kau percaya."
"Yeah, kau benar. Aku tidak begitu dekat dengan teman-temanku dulu. Orang-orang mungkin melihat aku punya banyak teman dan selalu terlihat bahagia. Tapi dalam hati, aku merasa kesepian."
Well, perlahan-lahan Felicya mulai bercerita mengenai dirinya padaku. Selama ini dia pasti memendam semua masalahnya, guna menunggu seseorang yang benar-benar dia percaya, hadir disaat seperti sekarang ini.
"Oh, ya, tadi aku lihat kau mengobrol dengan Dennis, apa ada sesuatu yang kalian bicarakan?" celetuk Felicya, membuatku segera membuyarkan pemikiran.
"Ah, itu... kami bicara soal..."
"Aku tahu, pasti kalian membicarakanku."
Aku pun mengangkat kedua bahu. "Yeah bisa dibilang begitu."
"Apa yang Dennis katakan?"
"Dia cerita tentang masalahmu. Semuanya. Aku juga tahu kenapa kau bisa cedera."
Felicya meneguk ludahnya, dia seolah memendam rasa sedih. Aku tidak tahu pasti apa yang dia pikirkan, tapi aku menduga kalau saat ini dia sedang tidak baik-baik saja. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang berubah kusut.
Felicya menghela napas. "Aku tidak tahu, mengapa ada orang yang tega menuduhku. Tapi setelah kupikir-pikir, mungkin aku pernah berbuat salah padanya dan aku tidak menyadarinya." Lisya menatapku dengan tatapan sendu. "Dalamnya hati manusia tidak ada yang tahu, kan? Diluar terlihat biasa saja, tapi siapa yang bisa menduga kalau dia menyimpan dendam pada kita?" kemudian kulihat Felisya tersenyum getir.
Sekali lagi, Felicya benar. Hidup ini memang gila. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya, bisa saja hidup menjerumuskanmu jatuh ke tanah setelah menghempaskanmu ke langit. Perputaran roda kehidupan memang kejam.
"Meskipun aku mengelak dan mengatakan aku tidak melakukannya, semuanya tidak akan kembali seperti semula. Sekali dicap jelek, maka seterusnya akan begitu. Kalau boleh memilih, aku ingin dilahirkan menjadi orang bisu, supaya jelas aku tidak bisa bicara." ujarnya.
Aku merasakan getaran kesedihan dalam jiwa Felicya. Hidup ini memang benar-benar penuh cobaan.
Gadis itu menghela napas sejenak, kemudian menoleh padaku. "Yeah, namanya juga manusia, ada satu titik dimana mereka menginginkan posisi yang tinggi. Aku tidak masalah, selama aku masih bisa hidup. Well, kita tidak usah membicarakan hal yang tidak penting lagi. Biarkan saja semuanya berjalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akasia
Fiksi PenggemarKisah tentang si penguat jiwa, dalam menghadapi kerasnya hidup. Tanpa banyak bicara, tanpa berusaha membuktikan kebenaran, tanpa rasa putus asa. Dia seperti akasia, terlihat kuat meski banyak rintangan yang dia hadapi. "Dia orang pertama yang menga...