Felicya
Hari pertama perkuliahan dimulai setelah liburan yang cukup singkat. Yeah, singkat, karena aku menghabiskannya sendiri didalam rumah. Tidak ada yang berkesan, kecuali... oh, aku baru ingat, aku tidak sepenuhnya menghabiskan waktuku sendiri ada Leo yang selalu menemaniku. Aku bahkan lupa fakta kalau aku sekarang punya teman. Wah, sudah berapa lama aku menikmati waktu sendiriku.
Entah mengapa hari ini aku tidak punya keinginan untuk menginjakan kaki ke Lanfrach. Rasanya aku ingin menikmati waktu sendiri, berusaha membahagiakan diri sendiri. Aku sudah mengalaminya beberapa kali dan aku bisa memastikan bahwa tidak ada yang lebih bahagia selain membahagiakan diri sendiri.
Aku pun memutuskan untuk jalan-jalan disekitar tempat tinggalku, aku pernah mendengar bahwa ada taman diujung jalan. Sepertinya tempat itu bagus untuk menaikkan mood dan mencari inspirasi.
Sebelum aku benar-benar meninggalkan apartemen, aku menoleh ke sebelah, sebenarnya pagi ini aku berharap bisa bertemu dengan Leo. Aku tidak tahu mengapa aku begitu menggebu ingin bertemu dengannya. Ada banyak hal yang belum aku sampaikan padanya, termasuk ucapan terima kasih.
Selama ini dia banyak sekali membantuku, dia selalu menemaniku, dia juga orang pertama yang mengulurkan tangan setelah aku jatuh. Dan kalau aku boleh bilang, Leo adalah orang yang paling ku percayai di dunia ini, diantara miliaran orang yang hidup. Sebelumnya aku tak pernah bisa percaya pada orang, tapi semuanya berubah ketika Leo datang dan menawarkan uluran tangannya padaku.
Kupikir dia pantas mendapat sesuatu yang berharga.
Saat ini aku benar-benar telah keluar dari gedung apartemen dan menelusuri jalan. Well, pagi ini jalanan tampak begitu lenggang, mungkin karena ini adalah hari kerja.
Aku menggosokkan kedua telapak tangan akibat udara musim gugur yang berhembus. Diluar dugaan, cuacanya jauh lebih dingin dari kemarin. Dan aku menemukan alasan lain mengapa orang-orang memilih untuk tidak keluar rumah.
Ketika sampai di persimpangan jalan, aku tak sengaja melirik salah satu barang di toko barang antik. Dari balik kaca jendela besar itu, aku melihat sebuah kotak musik berbentuk piano. Aku tersenyum kecil, sepertinya aku tahu mau menghadiahkan Leo apa. Aku tahu benda itu terlihat biasa saja, tapi kupikir itu sangat cocok dengan Leo. Piano adalah keperibadaiannya, dia seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan musik klasik dan beberapa kali mengikuti tur dan konser.
Saat aku akan melangkahkan kaki menuju toko, tiba-tiba aku mendengar suara sebuah ledakan. Tidak, itu terdengar seperti suara senapan. Disaat yang bersamaan, aku merasakan sakit dibagian belakang tubuhku. Rasanya sangat sakit, bahkan aku tak sanggup untuk berdiri hingga akhirnya tersungkur. Aku mendengar beberapa orang yang entah darimana datangnya, berteriak dan mengerumuniku.
Sepertinya aku tak bisa memberikan hadiah untuk Leo.
"Kalau misalnya didunia ini tidak ada yang menginginkanmu lagi, apa yang akan kau lakukan?" - Leo
"Sederhana saja, mungkin aku akan pergi mencari kebahagianku sendiri." - Felicya
Aku kembali mengingat momen itu, ditengah-tengah hilangnya kesadaran ku. Tapi itu tak berlangsung lama, yang ku tahu setelah itu, semuanya menggelap. Aku juga tidak mendengar apapun lagi. Seluruh rasa sakit tiba-tiba menghilang, aku mengalami mati rasa. Namun, aku masih bisa merasakan bibirku berucap dan mengucapkan kalimat terakhir.
"Leo, maaf.... aku mencintaimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akasia
Fiksi PenggemarKisah tentang si penguat jiwa, dalam menghadapi kerasnya hidup. Tanpa banyak bicara, tanpa berusaha membuktikan kebenaran, tanpa rasa putus asa. Dia seperti akasia, terlihat kuat meski banyak rintangan yang dia hadapi. "Dia orang pertama yang menga...