chapter 9

6 0 0
                                    

       Langit cerah sore ini begitu pun senja yang terlihat seperti dulu lagi. Tidak ada yang berubah di jembatan ini. Rais berjanji pada Aleta untuk mengajaknya bertemu dengan Anan. Tidak terasa sudah setahun lamanya Aleta merindukan sosok itu.

"Hai sayang... kita pergi sekarang ?". Aleta hanya mengangguk antusias.

       Dalam perjalanan Aleta nampak sangat sibuk memainkan matanya dengan tidak teratur mulai dari ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang hingga sesekali matanya terfokus pada satu objek yang ia lewati. Rais merasa sangat ceria melihat Aleta kembali seperti dulu tapi kelihatannya tidak secerah hati Aleta saat nanti bertemu Anan.

       Aleta kembali memandangi Rais yang dari tadi tidak ia pedulikan. Rais terlihat lebih tampan hari ini dan itu membuat kebahagiaan Aleta naik satu level dan jika di tambah dengan pertemuannya dengan Anan nanti kemungkinan akan naik menjadi sepuluh level.

"Kenapa ? rindu ya lihat muka ku yang keren ini ?".

     Pertanyaan Rais membuat Aleta sedikit terkejut dan tidak bisa di hindari bahwa Aleta memang merindukan sosok yang satu ini.

Move on, Apakah Aleta sudah melakukannya ?. Sudah memang tapi belum sempurna dan mungkin saja bisa kalah dengan rasa rindunya saat ini.

"Ihh!! Rais geer banget sih yang ada bosen tau lihat muka lo tiap hari". Ejek Aleta menyembunyikan rasa malunya.

"Kita udah sampai nih turun yuk". Ajak Rais setelah mematikan mesin mobilnya.

"Loh kok kita ke sini sih Is ?". Tanya Aleta heran.

       Dari awal pergi tadi Aleta tidak pernah bertanya akan kemana namun, setelah melihat suasana tempat ia berdiri saat ini membuat Aleta merasakan kecemasan dua kali lebih tinggi di bandingkan ketika ia baru belajar berjalan saat pertama kali buta dulu.

"Itu Meina, sekarang kita ke sana ya, dan jangan lupa buat minta maaf sama Meina atas semua kejadian ini".

      Kata-kata Rais barusan semakin membuat kecemasan Aleta memuncak. Aleta menatap Rais dengan penuh tanya tapi dari tatapannya ia sama sekali tidak menemukan jawaban berarti ini tanda bahwa Aleta harus mencari jawabannya sendiri.

       Aleta berlari meninggalkan Rais yang membawa payung hitam di belakangnya. Dengan napas terengah-engah Aleta menatap mata Meina dan batu nisan yang ada di depannya secara bergiliran.

"Nggak mungkin....". Air mata Aleta jatuh perlahan bersama dengan jatuhnya air hujan yang seolah membuat senyum yang dari tadi mengambang menjadi lekuk bibir yang bergetar.

"Kenapa sedih ? bukannya ini yang lo mau, lo mau Anan pergi dari hidup lo dan nggak mengusik hidup lo. Berterima kasih sama tuhan karna tuhan udah ngabulin doa lo selama ini". Meina mengangkat tubuh Aleta dengan paksa.

"Tahu apa lo soal gue sama Anan, lo cuma anak kecil yang bisanya ngeliat suatu kejadian dari satu argumen". Aleta berusaha membela dirinya di depan makam Anan.

     Rais hanya memandangi Aleta dari depan mobil. Bukannya Rais jahat tapi Rais tahu saat yang tepat untuk ikut campur urusan calon istrinya.

"Dengan gue yang nggak pernah ikut campur dalam masalah kalian bukan berarti gue nggak tahu apa masalah kalian, kalo lo sebut gue sebagai anak kecil yang hanya anggapin satu masalah dari satu argumen lo salah besar, justru setelah gue denger semua argumen lo gue jadi tahu mana orang yang nggak pernah punya sikap menghargai".

        Derasnya hujan semakin membuat amarah mereka memuncak tidak melibatkan fisik memang tapi tetap saja salah satu dari mereka tidak akan mengalah jika tidak ada pihak tengah.

RETURN TO FORGETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang