Tadi terasa seperti makan malam terpanjang dalam hidup Kalea.Setelah membahas singkat semua dokumen, mereka berpisah, tak banyak bicara juga karena terasa kikuk. Gilang pulang naik Mercedes diiringi para pengawalnya, sementara Kalea menaiki Thunder.
Motor melaju di tengah derum gagah mesin. Jalanan sedang sepi jadi ia menambah kecepatan sedikit, merasakan angin menggelitik kulit menembus mantelnya. Ketika berbelok, ia melirik spion, nampak SUV hitam mengikuti jauh di belakang.
Sudah tiga kali ia melihat SUV yang sama hari ini. Dia pun menambah kecepatan.
Eks Pelabuhan Tanjung Priok
Jakarta Utara
Kalea butuh ketenangan seperti ini.
Setelah memarkir Thunder, ia berdiri dekat pagar pembatas. Menatap laut lepas yang berkilau oleh cahaya bulan. Membiarkan pikiran soal Gilang dibawa pergi oleh ombak. Menyadari seseorang merasakan hal seperti itu bukanlah berita yang mudah—karena dia tidak yakin soal perasaannya sendiri. Ia pun memejam, merasakan udara tenang mengusap wajahnya.
Tiba-tiba terdengar derap langkah pelan di belakang.
Kalea membuka mata, tetap tenang, perlahan menarik sebilah pisau dari balik mantel. Dengan cepat ia berbalik, melemparnya. Pisau melesat cepat dan menancap di dinding kayu. Sejengkal dari wajah bertulang tegas seterang porselen itu, membuatnya membeku. Dia membawa pistol.
"Rafa," bisik Kalea, kesal.
Kalea melesat ke balik motor saat peluru ditembakkan, seketika mengenai badan motor. Dia mengambil pistol dari balik mantel, mengokang. Balas menembak beberapa kali tapi Rafa sembunyi di balik bangunan pos. Hanya menampakkan ujung rambutnya.
"Aku hanya ingin menyapa."
Kalea nyengir sarkastik. "Oh, hai juga, aku merindukanmu!"
Dia tarik dua peledak kecil dari saku, melemparnya. Asap meluas cepat ke arah bangunan pos. Dia berlari di baliknya, masuk ke jalan sempit yang diapit tumpukkan kontainer. Sigap melompati tumpukan boks kayu.
Melesat ke kanan, mengejang melihat Rafa menyiagakan pistol di antara kontainer. Sebelum Rafa sempat mengangkat pistol, Kalea menodongkan tangan ke depan. Panah kecil meluncur dari tembakan di punggung tangan. Mengenai pundak Rafa, menyetrumnya. Dia pun mundur, mengerang memegangi pundaknya yang tersengat.
Kalea tendang pundak Rafa sampai terdengar patahan, membuatnya mengerang sekali. Meninju tapi Rafa menghindar, mencengkeram lengan Kalea, menerjang kuat untuk menahannya ke dinding kontainer. Wajah mereka pun sangat dekat.
"Dengar—"
Kalea menghantam selangkangan Rafa dengan lutut. Membuatnya mundur bersandar ke kontainer, memejam ngilu. "Kau mengikutiku seharian?!"
"Jangan kegeeran dulu," balasnya, pedih.
Kalea menyikut sisi wajah Rafa, tanpa jeda maju menendang hidungnya. Ketika Rafa jatuh, Kalea mengambil kesempatan merampas pistolnya dan lari.
Dia menyusuri jalan sempit hingga sampai di bangunan gudang. Melompati pagar kayu yang menghalangi pintunya. Masuk ke ruangan luas, remang-remang oleh cahaya bulan dari jendela buramnya. Kontainer berkarat berantakan di sini, ada pula sisa rangka kapal.
Terdengar derap langkah di luar, cepat, lebih dari satu orang. Kalea merapat ke dinding, perlahan melangkah menuju pintu samping sambil mengepal, siap bertarung.
Namun seseorang menariknya, membekapnya ke dinding. "Ada dua tim, terlalu banyak."
Itu Rafa lagi. Meski kesal, Kalea malah diam memperhatikan. Mata coklat terangnya mengikuti gerakan di luar hingga derap langkah menjauh. Setelah itu ia menarik pistol berleher logam dari saku belakang. Menekan moncongnya ke sisi kening Kalea.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDA - The Series
Action(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi rahasia untuk menangani kasus ini. Seiring ia mendalaminya terkuaklah berbagai fakta dan kejadian di...